16. Sayang banyak-banyak

335 62 28
                                    

Bani benar-benar jadi pendiam. Dia tidak mau bicara sama sekali pada kedua orang tuanya. Sekalinya bicara, yang ditanyakan justru Yugo. Bicara baik-baik percuma, tetapi semakin ditekan hal yang sama berpotensi terulang.

"Kamu mau papa gimana, Bani? Selama ini apa pun yang kamu mau selalu papa turuti, kecuali yang membahayakan, 'kan? Sekarang juga papa cuma berusaha menjauhkan kamu dari sesuatu yang membahayakan, kenapa tetap dianggap salah?"

"Yang papa anggap berbahaya itu kakak aku. Orang yang selalu jagain aku, bahkan mengorbankan dirinya demi aku. Orang yang selalu nemenin aku setiap aku merasa kesepian. Satu-satunya orang yang aku punya."

"Terus papa harus gimana sekarang biar kamu mau ngomong sama papa selain berantem kayak gini? Papa juga sebenarnya kasih izin kamu buat tetap ketemu abang kamu, kan? Kamunya enggak sabar dan kabur-kaburan."

Bani memutar tubuhnya membelakangi sang papa. Malas berdebat karena masalah yang sama. Intinya, Bani tidak ingin dipaksa-paksa. Tidak ingin hubungan dengan kakaknya berjarak. Sesederhana itu.

Arini menghela napas melihat perdebatan ayah dan anak itu. Ia kemudian beralih ke sisi lain tempat tidur, berusaha bicara dengan putranya lebih dekat. "Bani," panggilnya.

"Bani mau tetap sama abang iya?"

Bani mengangguk tanpa ragu.

"Tapi, Bani tahu kan kalau sekarang abang punya kehidupan baru sama papanya? Bani enggak keberatan?"

Anak itu tampak menimbang sebentar sebelum akhirnya menggeleng. "Abang berhak bahagia, tapi aku enggak mau jauh dari abang juga Ma."

"Kalau kamu mau nurut, papa bakal izinin kamu ketemu abang kamu, tapi enggak di sini. Biarin abang kamu yang ke Jakarta."

"Aku udah gede, Pa."

"Terserah kamu mau nurut atau enggak. Papa enggak mau dibantah lagi kali ini. Kalau kamu mau tetap bandel, jangan anggap papa orang tua kamu lagi."

"Mas!"

"Oke aku nurut, asal boleh ketemu abang."

"Iya terserah. Asal dia yang ke Jakarta, bukan kamu yang kabur kayak gini lagi."

"Iya, Pa. Aku minta maaf."

"Satu lagi. Papa enggak mau kamu melakukan hal seperti ini lagi, Bani. Papa mohon. Enggak ada gunanya papa hidup kalau kamu enggak ada lagi di hidup papa. Jadi, please ... kalau kamu sayang sama papa, jangan seperti ini apapun yang terjadi."

Bani tahu semua orang terluka karenanya. Namun, Bani tidak bisa mengontrol diri. Semuanya gelap. Bahkan alasannya untuk bertahan pun lenyap entah ke mana.

"Maaf."

"Papa sayang kamu. Sangat. Jadi, tolong jangan pergi dari papa."

***

Setelah absen karena sakit, hari ini akhirnya Yugo kembali ke sekolah. Bisa dibayangkan respons teman-temannya seperti apa, dan jujur itu membuatnya merasa hangat.

"Elo, tuh, tahu punya lambung lemah. Makan susah banget anjir. Kalau enggak makan mi enggak makan sama sekali. Gue tiap bawa makanan juga lempeng aja enggak pernah pengin nyentuh." Orang pertama yang langsung mengomel tentu saja Jonathan. Mamanya paling bawel dan mengharuskan dia selalu membawa bekal. Namun, menurutnya di antara yang lain, Yugo paling tidak bisa diajak bekerjasama untuk membantu menghabiskan makanannya.

"Gue enggak bisa makan makanan orang lain. Sorry banget."

Gabriel menepuk-nepuk punggung pemuda itu sembari berkata tidak apa-apa, berusaha meyakinkan bahwa Jonathan hanya bercanda.

Satria Dan Paus KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang