15. Sebuah harap

376 74 14
                                    

"Papa, aku enggak mau infus!"

Yugo langsung melompat ke sisi lain tempat tidur. Ia tiba-tiba merasa sehat dan sanggup andai diminta ikut lomba maraton pun. Melihat segerombolan orang datang membawa obat beserta peralatan untuk infus.

"Enggak bisa! Kamu enggak mau makan, ga ada nutrisi, muntah terus!" Satria sama kerasnya.

"Papa aja kalau gitu yang infus. Aku enggak mau pokoknya. Aku kabur sekarang juga kalau Papa maksa!"

"Prayugo Antasena, ampun enggak ada wibawanya banget. Cepat rebahan lagi. Enggak usah aneh-aneh. Infus doang lho."

"Bapak juga gitu," celetuk Wulan yang langsung membuat Satria melotot.

Satria yang berdiri di samping tempat tidur putranya mengulurkan tangan, lantas berkata, "Ayo, Nak. Jangan rewel. Katanya udah gede tapi sama infus doang takut. Ayo cepat. Kasihan lho, udah jauh-jauh ke sini, kamunya malah begini."

Akhirnya anak itu menurut. Dia turun, kemudian kembali berbaring di tempat tidur. Saat sang perawat menyiapkan infuset dan segala macamnya, sedangkan Yugo sudah tak lagi melawan.

"Kok diam?" tanya Satria dengan alis saling bertaut. Tadi anak itu sangat tidak bisa diam, sekarang justru terlalu tenang.

"Sakit. Bani pasti lebih sakit."

Satria menghela napas. Dia mengerti sekarang kenapa Yugo tiba-tiba diam. Selama belum bicara dengan sang adik, Yugo pasti akan terus seperti ini karena merasa dialah penyebab Bani terluka. Namun, dia tak langsung menanggapi, memilih membiarkan sang perawat menyelesaikan tugasnya dulu.

Setelah selesai, Satria mengantar mereka keluar dari kamar putranya.

"Lan, makasih, ya," katanya pada petugas apotek. "Denis, kamu bisa di sini dulu enggak sampai Yugo lepas infus. Nanti kamu dapat lembur yang gantiin kamu juga dapat lembur."

"Baik, Pak."

"Kalau gitu saya sama yang lain pamit dulu, Pak. Semoga Mas Yugo cepat sembuh."

Satria hanya mengangguk dan berterima kasih. Setelah mengantar karyawannya ke depan, dia juga mengantar sang perawat ke kamar tamu untuk beristirahat. Jadi, nanti saat dibutuhkan dia memang dalam kondisi siap.

Buru-buru Satria kembali ke kamar putranya, takut anak itu membutuhkan sesuatu saat dia tidak di sana. Namun, begitu kembali Yugo justru sudah jauh terlelap. Pria itu menghela napas, lalu duduk di samping ranjang Yugo.

"Papa tahu ini berat, tapi kamu udah hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Jadi, papa harap kamu enggak akan nyerah, ya, Nak."

Tadinya Satria ingin bicara lebih banyak, tetapi ia sadar—untuk saat ini—membiarkan putranya istirahat jauh lebih bijak.

***

"Gimana kondisi Bani? Kapan kalian balik ke Jakarta?"

Seorang perempuan di seberang telepon tak langsung menjawab, hanya terisak, membuat Satria sadar bahwa Bani tidak baik-baik saja. "Bani belum banyak ngobrol. Setiap bangun yang dia tanyain cuma Yugo. Karena Bani merasa Yugo satu-satunya yang dia punya, jadi waktu Yugo bilng begitu dia terpukul. Dia enggak bisa ditinggal."

"Yugo juga merasa bersalah, aku yakin itu. Sekarang Yugo juga sakit. Dia enggak bisa makan apapun. Tapi, itu bukan keputusanku, kalian yang mau. Aku masih mengizinkan mereka ketemu walaupun mungkin enggak akan sesering dulu. Suami kamu yang keras kepala."

"Mas Tian berpikir kalau Yugo selalu menempatkan Bani dalam bahaya. Itu yang bikin dia ketakutan. Jadi, lebih baik Yugo enggak sama Bani lagi."

Satria Dan Paus KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang