|C H A P T E R F O U R|

49 11 5
                                    

WARNING⚠️ Dilarang Keras untuk men screenshot cerita ini untuk hal yang tidak baik seperti mengcopy paste, Dilarang Keras plagiat untuk masuk ke sini

Enjoy

H A P P Y R E A D I N G💞💐

Chapter Four: Kita tak sebodoh itu

Bumi dan Marcel kini sudah berada di atas motor masing-masing, mengenakan helm yang menutupi wajah mereka dengan sempurna. Malam yang kelam semakin menambah suasana mencekam di arena balap liar itu. Di sekeliling, para penonton bersorak dengan semangat, menciptakan gemuruh suara yang memekakkan telinga. Lampu neon dari motor-motor mereka menyala, memantulkan kilauan liar di mata para penonton.

Marcel memutar gas motornya, suara mesin meraung seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Ia menatap Bumi dari balik visor helmnya, senyum licik terlukis di bibirnya. Ada kebencian, ada ego, dan ada hasrat besar untuk menang di matanya.

“Kali ini gue yakin gue akan menang!” seru Marcel, suaranya penuh kepercayaan diri yang sombong, nyaris tenggelam oleh deru mesin dan sorakan penonton.

Bumi, dengan tatapan tenang dan fokus, mengabaikan teriakan Marcel. Ia menunduk sejenak, merasakan napasnya sendiri mengalir di balik helm. "Let's see, Marcel. Jangan banyak bicara, biarkan lintasan yang berbicara," ucapnya, pelan namun penuh tekad. Tangan Bumi mengencangkan genggaman pada setang motor, merasa adrenalin mengalir deras dalam nadinya.

Mereka berdua saling mengintai dari sudut mata, seakan siap untuk meluncur seperti dua peluru yang dilepaskan dari senapan. Detik-detik menuju start terasa seperti jarum yang bergerak lambat di jam. Ketegangan menggantung di udara, begitu tebal hingga hampir bisa dirasakan.

“Lima... empat... tiga...” suara wasit bergema melalui megafon, membuat semua mata tertuju pada dua pembalap utama. Suasana makin menegang, seolah waktu berhenti sejenak.

“Dua... satu... GO!”

Teriakan wasit memecah keheningan, dan suara mesin meledak seperti gemuruh petir. Kedua motor melesat bersamaan, mencabik aspal dan meninggalkan jejak cahaya yang membara. Bumi langsung mengambil posisi unggul, tubuhnya condong ke depan, matanya tajam memperhitungkan setiap tikungan dan rintangan di depannya. Marcel, di sisi lain, berusaha mengejar, senyum liciknya tetap tergambar jelas di wajah meski kini mulai memudar sedikit demi sedikit.

Para penonton berdesakan, menahan napas saat kedua motor itu mendekati tikungan tajam pertama. Bumi mengurangi gas dan mencondongkan tubuhnya ke kiri dengan presisi yang sempurna, sementara Marcel mencoba manuver agresif untuk menyalip dari dalam.

“Jangan kasih napas, Bumi!” teriak Bulan dari kerumunan, wajahnya tegang, menggenggam lengan Najla yang tak kalah cemas. Senja, di antara mereka, menggigit bibir bawahnya, khawatir namun berusaha tetap tenang. Matanya terus mengikuti gerakan Bumi, jantungnya berdegup lebih cepat dari suara mesin yang meraung di lintasan.

Marcel mendekat, hanya beberapa inci di belakang Bumi. Dia merapatkan giginya, merasakan kemenangan di ujung jarinya. “Ini saatnya, Bumi... bersiaplah untuk jatuh!” batinnya sambil memacu gas lebih keras.

Namun, Bumi, dengan insting tajamnya, mendengar suara mesin Marcel yang mendekat di belakang. “Kau pikir aku tidak tahu rencanamu, Marcel?” gumam Bumi, memacu motornya lebih cepat, meninggalkan Marcel yang seolah terpaku sesaat. Pertarungan kini semakin memanas. Semua menahan napas, menanti siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Lintasan semakin menegangkan. Adrenalin, ego, dan dendam kini berpacu dalam laju yang sama.

“Licik, untung saja saat Bumi sibuk memeriksa rute tadi, Gabriel sempat mengecek motornya,” pikir Senja, tatapannya tak lepas dari Bumi yang melesat di lintasan. Firasatnya terbukti benar, ada sesuatu yang tidak beres sejak awal. Jika Gabriel tidak bertindak cepat, hasilnya bisa berbahaya.

Bumi Untuk Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang