Bagian Keenam

11 6 1
                                        

"Tentu saja."

Lia Ruhani tersenyum cerah. Hari ini terasa istimewa, karena ada yang menemaninya pulang. Ia menunjuk ke arah jalan di belakang Raka Samudra. "Rumahku di sepanjang jalan ini. Tinggal jalan lurus saja, kita akan sampai."

Raka menoleh, mengangguk lembut dengan wajahnya yang hangat, lalu mulai berjalan di sisinya. "Perlu aku bawakan tas belanjamu?"

Tanpa ragu, Lia menyerahkan tasnya. Raka menerima tas itu, tapi tiba-tiba terdiam. Matanya melirik ke belakang Lia, memperhatikan sesuatu. Namun, jalan yang ada di belakang mereka sunyi, kosong. Ia mengerjap pelan sebelum kembali melangkah di samping Lia.

Payung mereka hampir bersentuhan, melindungi langkah-langkah kecil di tengah tirai hujan yang turun perlahan.

Dari balik bayang-bayang pohon besar di tepi jalan, sosok ramping perlahan muncul, berdiri dalam kegelapan, tersenyum samar, penuh arti.

"Sensitif sekali."

Di bawah pohon lainnya, seutas benang emas berkilauan, seakan mencari sesuatu.

Lia memecah keheningan, "Kakak, mau makan kue krim? Aku beli, enak banget!"

Raka menoleh dengan ekspresi datar, menolak dengan lembut. "Makan sambil jalan tidak baik untuk pencernaan."

Sikapnya yang serius membuat Lia langsung menarik kembali kue itu. "Oh."

Setelah beberapa saat, Raka bertanya, "Apa kamu tidak takut dengan... hal-hal itu?"

"Hal-hal itu?" Lia melirik ke sekeliling, pada bayang-bayang yang bergerak tenang di sekitarnya. Suaranya lembut, sehangat kue yang baru diangkat dari oven, tanpa setitik pun ketakutan. "Aku tidak takut. Mereka... sedikit mirip ayah dan ibu. Kakek-nenek juga, sama seperti kakak-kakakku!"

Raka awalnya mengangguk kecil, tapi tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mirip?"

Lia mengangguk. "Iya, mereka selalu ada di sekitarku. Seperti bayangan gelap yang menyelimuti tubuh mereka."

Raka memandangnya serius. "Bayangan gelap? Kamu juga memilikinya, Lia. Apakah kamu terkontaminasi oleh Srikarsa?"

Lia mengangkat tangannya, memperhatikan tubuhnya sendiri. "Bayangan gelap? Srikarsa? Aku tidak melihat apa-apa."

Raka menjelaskan, "Bayangan gelap tidak terlihat oleh diri kita sendiri. Hanya orang lain yang bisa melihatnya. Aku juga tak bisa melihat bayangan gelapku. Kamu bisa melihat bayangan gelap di tubuhku?"

Lia mengamati Raka, yang berdiri di bawah payung putih, dengan kulit bersih dan mata tajamnya. Sosoknya tenang, tanpa aura apa pun.

"Aku... tidak bisa melihat apa-apa. Apakah kamu punya bayangan gelap?" tanyanya, penuh penasaran.

"Tentu saja tidak, aku belum terkontaminasi. Bayangan gelap hanya ada pada mereka yang terkontaminasi Srikarsa," jawab Raka dengan yakin.

Untuk pertama kalinya, Lia terdiam. Kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya. "Oh..."

Raka melanjutkan, "Bayangan gelap itu seperti kabut yang perlahan menutupi seseorang. Awalnya, kita tak sadar, tapi lama-kelamaan ia menyatu dengan diri kita. Orang lain bisa dengan mudah melihatnya. Seperti ibuku, yang tak pernah sadar kalau berat badannya naik, tapi aku tahu persis, dia bertambah sepuluh kilogram."

Raka berkata dengan nada bangga, membuat Lia merasa tertegun, seolah ada sesuatu yang ingin ia bantah, tapi tak yakin harus berkata apa.

Raka Samudra menatap Lia dengan tatapan serius, mencoba membaca apa yang tak terucap. "Lia, di rumahmu... Apakah kamu pernah melihat Srikarsa? Biasanya, kalau seseorang diselimuti bayangan gelap, dia pasti pernah bersinggungan dengan mereka. Meski dari yang kulihat, mungkin dia tak bermaksud jahat. Kalau iya, kamu pasti sudah mengalami sesuatu sejak dulu," katanya, mengingat bagaimana ia telah melihat aura hitam yang samar sejak Lia masih kecil. "Sepertinya kamu telah hidup dengan ini cukup lama."

Lia hanya menggeleng pelan, suaranya tenang. "Aku nggak merasa ada hal aneh yang terjadi."

Langkah mereka semakin mendekat ke sebuah rumah tua yang mulai tampak di ujung jalan. Raka merasa ada sesuatu yang tak beres; hawa di sekitarnya terasa dingin dan muram, seolah mengundang rasa waspada yang tak ia duga.

Hati kecilnya menjerit, "Jangan-jangan benar..." Namun, kekhawatiran itu berubah jadi keterkejutan ketika Lia berhenti di depan rumah tua itu dan berkata dengan ceria, "Kita sampai! Ini rumahku!"

Raka memandangnya lekat. "Kamu yakin tidak ada yang aneh di rumahmu, Lia?"

Lia tampak bingung, tapi tetap menjawab polos, "Enggak, nggak ada."

Raka menarik napas panjang, menatap rumah itu dalam-dalam. "Tapi aku bisa merasakan aura lembayung yang pekat di sekitar rumah ini, terutama di halaman belakang. Sekarang aku paham kenapa keluargamu diselimuti bayangan gelap. Rumah ini... bisa dibilang rumah berhantu."

Ia berhenti sejenak, mengumpulkan pikirannya sebelum melanjutkan. "Baru tadi aku membersihkan bayangan yang menempel di tubuhmu, tapi sekarang kembali lagi terkontaminasi. Dilihat dari bayangan gelap yang menyelimutimu, sepertinya keluargamu sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan hantu ini."

Lia hanya mengangguk kecil, berusaha memahami kata-kata Raka meskipun ada banyak hal yang ia belum sepenuhnya pahami. "Aku tinggal di sini sejak kecil," gumamnya.

"Kamu nggak pernah pindah?" tanya Raka, memastikan.

Lia menggeleng. "Nggak pernah."

"Kalau begitu, mungkin hantu ini nggak punya niat jahat. Kalian hanya kebetulan tinggal di rumahnya, dan dia membiarkan kalian tanpa gangguan," ujar Raka dengan nada setengah bertanya. "Tapi setelah sekian lama, masih juga dia tidak menunjukkan diri... aneh sekali. Bagaimanapun, Lia, mungkin lebih baik kamu dan keluargamu segera pindah."

Raka mengeluarkan beberapa lembar kertas mantra dan sepotong jimat kayu kecil, menyerahkannya pada Lia. "Aku baru saja menyingkirkan sisa-sisa Srikarsa, jadi aku tidak bisa masuk sekarang. Kalau aku masuk, bisa jadi hantu ini merasa terancam atau terprovokasi, dan itu bisa membahayakanmu. Dengan kemampuanku saat ini sebagai siswa tahun pertama di Sekolah Wira Cakrawala, aku belum cukup kuat untuk melindungimu."

Tatapannya berubah serius. "Saat ini kamu aman, tapi ingat, kalau suatu saat terjadi sesuatu, gunakan ini. Kertas mantra ini dan jimat kayu ini bukan benda biasa. Kalau kamu menghadapi situasi yang berbahaya, kertas mantra ini bisa kau gunakan untuk menangkis serangan makhluk halus. Dan kalau mantra itu tidak cukup, patahkan jimat kayu ini. Jimat ini khusus diberikan oleh guruku sebagai tanda meminta pertolongan darurat."

Lia menerima kertas mantra dan jimat kayu itu dengan khidmat, dan mereka bertukar pandang. Meski masih anak-anak, keduanya menunjukkan kesungguhan yang mendalam, seperti dua teman yang sedang menjalani misi rahasia.

"Kamu masuklah. Aku akan datang lagi untuk membantumu nanti," ujar Raka sambil melambaikan tangan. "Tapi ingat, pilihan terbaik tetaplah pindah dari sini."

Lia mengangguk, menatapnya dengan penuh rasa percaya diri, lalu berbalik dan melangkah menuju rumah. Raka melihat gadis itu membuka pintu dan memanggil ibunya di dalam, suaranya terdengar jauh tapi jelas.

Raka mengamati rumah itu sekali lagi, merasakan aura lembayung yang pekat dan mendalam dari arah dalam rumah—lebih kuat daripada yang pernah ia rasakan pada Lia sebelumnya. Aura lembayung yang menyelimuti tempat itu benar-benar di luar dugaannya, begitu kuat dan menghantui.

"Ibu, Ibu! Temanku bilang ada hantu di rumah kita! Bahaya, Bu! Katanya kita harus pindah!" Suara Lia terdengar lamat-lamat dari dalam rumah.

Raka merasa lega. Setidaknya, Lia telah menyampaikan pesannya. Dia pun beranjak pergi dengan perasaan yang lebih tenang, meski benaknya masih dipenuhi tanda tanya.

Di balik pintu yang setengah tertutup, seorang wanita memandang anak perempuannya dengan lembut. Senyuman samar menghiasi wajahnya saat mendengarkan cerita Lia, seolah ada rahasia yang hanya ia yang tahu, tersembunyi di balik ketenangan yang menyejukkan itu.

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang