Chapter 1 : Di Persimpangan

3 1 0
                                    

"Kadang, kita harus berdiri di persimpangan, bukan untuk memilih jalan yang benar, tapi untuk belajar menerima pilihan yang sudah diambil."

____

Cahaya pagi nyelonong masuk ke ruang kelas, nyaris bikin meja-meja penuh tumpukan buku dan catatan jadi lebih bercahaya. Nara Arunika Az-zahra duduk di barisan tengah, nyenderin kepala di tangan sambil sesekali nguap kecil. Cewek ini emang cantik banget, rambut panjangnya terurai rapi, tapi sorot matanya kayak ngasih tahu kalau dia lelah parah.

"Ra, lu nggak apa-apa, kan?" suara Alden Pratama nyelonong masuk, bikin Nara akhirnya ngangkat kepala. Alden, si cowok planga-plongo yang selalu senyum, duduk di sebelahnya, jelas udah siap bikin suasana lebih hidup.

Nara menghela napas panjang, terus nyengir lemes. "Gue baik-baik aja, Den. Cuma, sumpah... dosen galak tadi bikin kepala gue mau meledak," ujarnya, sambil garuk-garuk kepala kayak orang frustasi. Bayangan Dr. Haris Gunawan, dosen perfeksionis yang suka ngasih tugas absurd, masih berputar di kepalanya.

Alden ngakak. "Santai, Ra. Kita udah biasa dikerjain si Pak Haris itu. Eh, si Dito aja udah give up ngomongin tugasnya." Dia nunjuk ke belakang, ke arah Dito Mahendra, yang lagi ngedumel sambil ngetik di laptopnya.

Dito mendengar namanya disebut, dan dengan suara datar, dia nyeletuk, "Tugas ini... sumpah, nggak masuk akal. Gila aja, kayak nggak ada kerjaan lain." Dia nutup laptopnya dengan wajah kesel, bikin Alden tambah ngakak sementara Nara cuma geleng-geleng.

Di pojokan, Raka Alvino ngamatin mereka dengan mata serius tapi santai. Cowok ini emang nggak banyak ngomong, lebih suka diem-diem ngelihatin keadaan, terutama kalau itu soal Nara. Raka tahu Nara lagi stres, bukan cuma karena tugas kuliah, tapi juga acara organisasi yang numpuk.

"Ra," Raka manggil pelan, suara beratnya bikin Nara noleh. "Jangan terlalu dipikirin, oke? Jaga kesehatan lu, ya." Omongannya simple, tapi serius, bikin Nara senyum kecil.

"Iya, Kak Raka," Nara bercanda, bikin suara kayak anak kecil yang dimarahin. Raka cuma mengangkat alis, lalu balik fokus ke bukunya.

Belum sempat Nara lanjut ngelamun, pintu kelas dibuka kenceng sama Faris Wijaya, yang masuk dengan nafas ngos-ngosan. "Woy, sorry telat! Gue ada berita penting!" teriaknya, bikin semua kepala nengok. Kevin Hartanto, yang lagi asik muter-muterin pulpen, melirik Faris dengan malas.

"Apa lagi, Ris?" Kevin nanya, setengah bosen.

Faris ngatur napas, terus ngelempar pandangan dramatis ke gengnya. "Reza Muhammad Fadly, Ketua Organisasi kita, bakal dateng ke rapat hari ini buat ngomongin acara kampus. Dan... kabarnya dia bakal nyebut nama lu, Ra."

Mata Nara langsung membelalak. "Hah? Kenapa gue lagi sih?" Nadanya setengah panik. Faris duduk di kursi depan Nara, ngelirik ke arah Nara dengan senyum usil.

"Karena lu, Nara, ratu kita semua," Faris ngeledek, bikin Kevin dan Alden ketawa. Tapi dalam hati, Nara beneran nggak santai. Dia nggak suka terlalu banyak perhatian, terutama kalau itu berhubungan sama Reza, Ketua Organisasi yang kelihatan selalu serius tapi sebenarnya ada sisi lembutnya.

Dito yang udah dari tadi males-malesan, tiba-tiba angkat alis. "Kalau Reza sampe mau ngomongin acara baru dan lu yang jadi sorotan, lu siap? Atau gue bisa bilang ke dia buat nggak usah banyak ekspektasi," katanya, nada sarkasnya tetap.

Nara ketawa kecil. "Nggak usah, Dit. Gue nggak selemah itu, kok," jawabnya, berusaha kelihatan santai.

Dito ngangguk, tapi tatapannya masih serius. "Ya, terserah lu sih. Tapi inget, kalo ada apa-apa, kita semua di sini."

Ucapannya, walaupun sarkas, kali ini terdengar tulus banget. Di saat kayak gini, Nara ngerasa bersyukur banget punya sahabat-sahabat seperti The Unbreakables—keluarga yang nggak pernah ninggalin dia, bahkan di saat tersulit sekalipun.

Eclat D'Amitie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang