Chapter 2 : Bayangan masalalu

1 1 0
                                    

"Krisna itu masa lalu yang nyebelin banget, kayak luka yang nggak mau sembuh dan terus aja ngingetin kalau cinta bisa jadi bumerang."
___________

Nara Arunika Az-zahra berdiri di depan cermin, ngelihatin pantulan wajahnya sendiri. Mata yang biasanya penuh semangat sekarang kelihatan capek. Di luar, langit udah mulai gelap, dan suara ponsel yang bergetar ngebawa Nara balik ke realitas.

Pesan dari Alden.

"Ra, gimana kabar lo? Lagi banyak beban ya kayaknya, wkwk."

Nara senyum dikit, tapi dalam hati dia tau senyum itu cuma basa-basi. Dia bales pesan Alden seadanya.

"Yah, gitu deh. Hidup nggak pernah kasih gue waktu istirahat, Den."

Belum sempet narik napas panjang, HP-nya bunyi lagi. Kali ini dari Zaki, si tukang debat yang selalu nggak sabar kalau soal urusan kampus.

"Ra, jadwal minggu depan udah fix. Kita harus rembug soal proyek."

Nara baca pesan itu sambil nguap. Pikirannya kusut, dan bukan cuma karena tugas kuliah atau organisasi yang segudang. Ada beban lain yang nyangkut di kepalanya, kayak serpihan masa lalu yang nggak pernah bener-bener pergi.

Bayangan wajah Krisna tiba-tiba muncul, bikin dada Nara sesek. Hubungan mereka udah lama tamat, tapi lukanya masih kerasa. Krisna itu kisah yang nggak gampang Nara lupain, karena dulu dia yang bikin Nara percaya sama cinta—sampai akhirnya semuanya berantakan gara-gara pengkhianatan.

Di kampus, Nara dikenal sebagai si ‘Ratu’ yang bijak, cewek yang semua orang cari buat nyelesain masalah. Tapi siapa sih yang tahu kalau di balik itu, Nara juga manusia biasa yang kadang ngerasa nggak kuat? Sahabat-sahabatnya di The Unbreakables mungkin selalu di sana buat dia, tapi mereka nggak ngerti seberapa ribet isi kepalanya.

Pengecualian mungkin cuma Raka, si cowok pendiam yang selalu kayak CCTV, ngamatin tanpa banyak ngomong. Kalau Raka udah ngelihat Nara nggak oke, dia bakal dateng pelan-pelan, nggak maksa buat Nara cerita. Dan anehnya, kehadiran Raka itu bikin Nara ngerasa nggak sendirian.

Nara duduk di meja belajarnya, mata menatap kosong ke tumpukan buku yang bikin stress. Foto lama di sudut meja menarik perhatiannya—foto dia sama Krisna, senyum mereka masih kelihatan manis banget di situ. Sekarang, itu cuma jadi pengingat betapa cinta kadang bisa nyakitin lebih dari yang kita kira.

Lamunannya terpotong pas Alden nongol di apartemen, masuk tanpa ketok kayak rumah sendiri. Dia ngelempar ransel ke sofa dan ngelihatin Nara dengan alis terangkat.

"Nara, lo kenapa? Kok kayaknya mukanya kusut banget?" suara Alden santai, tapi tajam. Dia itu tipe yang bisa baca keadaan tanpa Nara ngomong banyak.

Nara mengangkat bahu, pura-pura santai. "Nggak ada apa-apa, cuma capek."

Alden melipat tangan di dada. "Ra, plis deh. Gue tahu lo, nggak mungkin cuma soal capek biasa. Lo bisa ceritain, tau."

Nara ketawa kecil, tapi tawanya hambar. "Lo drama banget, Den. Gue beneran nggak apa-apa."

Alden nggak nyerah. Dia duduk di sebelah Nara, nyoba ngebujuk. "Ra, lo itu keras kepala banget sih. Nggak ada yang bakal nge-judge lo kalo lo cerita. Kita ini sahabat, dan lo tahu kita nggak bakal pergi ke mana-mana."

Nara diam, perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia pengin cerita, ngeluarin semua yang bikin sesak. Tapi rasa takut itu masih lebih besar. Takut kelihatan lemah. Takut orang tahu betapa rapuhnya dia sebenarnya.

Alden ngelus kepala Nara, bikin dia melotot kaget. "Hey, tenang. Gue di sini. Lo nggak harus kuat sendirian."

Nara ngedip, berusaha nahan air mata yang nyaris keluar. "Thanks, Den. Serius deh, lo dan geng ini bikin gue merasa beruntung."

Malam makin larut, dan Nara tahu dia nggak bisa lari dari kenangan itu selamanya. Tapi setidaknya, dengan Alden dan yang lain selalu di sampingnya, Nara punya alasan buat terus jalan, pelan-pelan.

--------
Jadi, gimana menurut kalian? Apakah Nara bakal nemuin caranya buat berdamai sama masa lalu, atau justru makin terjerat? Lanjut nggak, nih???

Eclat D'Amitie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang