chapter 4 : jejak jejak tersembunyi

0 0 0
                                    

"Kadang, kita butuh sebuah kebodohan untuk keluar dari rutinitas. Bahkan jika itu berarti harus menyelidiki ruang rahasia di kampus." — Nara
________

Hari itu, setelah kelas terakhir, Nara dan teman-temannya berkumpul di depan perpustakaan lama. Matahari mulai merunduk, memberi cahaya jingga yang bikin kampus terlihat lebih misterius. Mereka semua berdiri di sana, tampak seperti kelompok detektif yang sedang merencanakan aksi besar.

Nih, kita udah sampe. Jadi, gimana, Ra? Lo siap?” Faris nanya, matanya berbinar dengan semangat petualangannya yang nggak pernah luntur. Tangannya masih memegang boba, yang jelas lebih penting daripada apapun bagi dia saat itu.

Nara melirik ke sekeliling. Perpustakaan tua itu memang punya aura yang agak aneh. Bangunannya udah banyak lapuknya, dan sebagian jendelanya gelap, seakan nggak pernah disentuh cahaya matahari. "Gue nggak yakin ini ide yang baik, gengs. Kalau ada hantu beneran, gue nggak bakal terima tanggung jawab, ya."

Dito mencibir. "Lo sih, Ra, selalu aja skeptis. Ini kan cuma petualangan seru, bukan horror. Lo perlu coba buka pikiran sedikit."

Alden mengangguk, nyengir lebar. "Iya, kalau ada hantu juga kita hadapin bareng-bareng. Bukan cuma lo yang bakal diculik, Ra."

Raka yang dari tadi cuma diam, akhirnya membuka mulut. "Ayo, kita cari aja dulu. Gak ada yang salah kan, kalau kita cuma nyari tau? Kalau nggak ada, yaudah, kita balik."

Mika udah siap dengan energinya yang nggak habis-habis, dan langsung jalan menuju pintu belakang perpustakaan yang agak tersembunyi. "Gue udah pernah denger soal tempat ini dari temen gue yang anak arsitek. Katanya, kalau bisa nemu pintunya, itu bakal bawa kita ke lorong rahasia."

Nara, meskipun agak ragu, tetap mengikuti langkah mereka. "Lo yakin nih? Gue udah ngebayangin kalau misalnya kita masuk, langsung ada jebakan atau apapun deh."

Mika berhenti di depan sebuah dinding yang kelihatan biasa aja, tapi Nara bisa merasakan ketegangan di udara. "Ini dia, Ra. Katanya, dinding ini bisa geser, tapi cuma orang yang tahu cara aja yang bisa buka."

Alden nyengir, sambil ngelus dagu. "Wah, kalau kayak gitu, berarti kita harus cari tahu rahasia di balik dinding ini."

Mereka semua mulai coba ngeliat-liat dinding itu dengan seksama. Nara, meskipun sedikit takut, merasa tertantang. Sisi rasa ingin tahunya mulai muncul, menggantikan keraguan yang sempat ada. Dia tahu ini bukan hal yang seharusnya dilakukan, tapi adrenalin di tubuhnya mulai mengalir. Bisa jadi, ini cara yang tepat untuk menghindari kebosanan yang selalu menghantuinya.

"Tunggu," Raka tiba-tiba berbicara dengan nada yang lebih serius. "Coba lo geser batu di pojok sana. Gue rasa itu kunci untuk buka dindingnya."

Mika langsung bergerak cepat, ngelakuin apa yang Raka bilang. Ternyata, setelah beberapa saat, dinding itu bergerak perlahan, membuka celah kecil. Semua diam, terpesona dan sedikit terkejut. Nara merasa jantungnya berdegup lebih cepat, seolah-olah mereka baru saja membuka pintu ke dunia lain.

"Ini beneran, dong," Faris berbisik, menatap Nara dengan mata berbinar. "Ayo, Ra, kita masuk!"

Dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran yang nggak bisa dibendung, Nara akhirnya melangkah maju, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Mereka masuk ke dalam lorong sempit yang tersembunyi di balik dinding itu. Kegelapan menyambut mereka. Hanya ada sedikit cahaya dari celah-celah di atas, dari jendela yang sudah lama tertutup debu.

"Jadi ini yang dimaksud ruang rahasia?" Nara berkata pelan, suaranya bergema dalam lorong sempit yang menakutkan. "Gue nggak bisa ngebayangin apa yang bisa ada di sini."

Raka melangkah lebih dulu. "Gue rasa kita harus terus jalan. Kalau ini cuma lorong, berarti kita nggak akan menemukan apa-apa kalau kita berhenti di sini."

Mika ikut menyusul, tidak peduli dengan ketegangan yang mulai terasa. "Bener, Ra. Kita harus nyari apa yang ada di ujung lorong. Kalau nggak ada apa-apa, yaudah, kita balik. Tapi kalau ada, berarti kita berhasil nemuin sesuatu yang orang lain nggak tahu."

Mereka berjalan dalam diam, kaki mereka terdengar berderap di atas lantai kayu yang berdebu. Lorong itu terasa semakin sempit dan panjang, dan suasana mulai terasa makin gelap. Nara merasakan ada sesuatu yang nggak beres, tapi dia nggak mau nunjukkin rasa takutnya. Apalagi sekarang, kalau dia mundur, mereka semua bakal mengejeknya.

"Tunggu," Dito mendadak berhenti dan menoleh ke belakang. "Apa itu?" Dia menunjuk ke arah sebuah pintu yang terlihat lebih tua dari yang lain, terletak di ujung lorong. Pintu itu setengah terbuka, dengan celah yang cukup lebar untuk seseorang masuk.

"Kelihatan nggak ada apa-apa sih," Nara berkata ragu. "Tapi, kenapa kita nggak coba aja? Udah sampe sini, nggak bakal rugi juga."

Mika yang udah kepo banget, langsung bergerak ke depan. "Ayo, kita liat!" Dia membuka pintu itu perlahan, dan yang mereka temukan di baliknya membuat mereka terkejut.

Di dalam, ada sebuah ruangan besar yang sudah lama tidak terjamah. Tumpukan buku-buku tua berdebu menumpuk di sudut-sudut ruangan. Beberapa meja kayu rusak, dan ada gambar-gambar lama yang terpasang di dinding. Namun, yang paling menarik perhatian mereka adalah sebuah meja besar di tengah ruangan, lengkap dengan beberapa buku terbuka yang sepertinya sudah lama dibiarkan.

"Sumpah, ini kayak ruang rapat organisasi dulu," Faris berkata dengan suara bergetar, matanya berbinar. "Gila, kita beneran nemuin tempat yang rahasia!"

Raka melangkah masuk lebih jauh, mengamati ruangan itu dengan seksama. "Ada sesuatu yang aneh di sini," katanya pelan. "Lihat tuh, ada buku-buku yang terbuka, dan catatan-catatan yang kayaknya nggak pernah selesai."

Nara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, merasa ada sesuatu yang salah. "Gue nggak tahu kenapa, tapi gue merasa nggak nyaman di sini."

Mika mengabaikan kekhawatiran Nara dan langsung mendekati meja besar itu. "Gue penasaran, deh, apa yang mereka tulis di sini."

Tiba-tiba, pintu ruangan itu berderit tertutup dengan sendirinya. Semua langsung terdiam, memandang pintu yang sekarang tertutup rapat. Suasana jadi semakin tegang.

"Nara... lo nggak ngerasa ada yang aneh?" Dito bertanya dengan nada serius.

Sebelum Nara sempat menjawab, sebuah suara berat bergema di dalam ruangan, membuat semuanya terkejut. "Apa yang kalian cari di sini?"

Semua langsung membeku. Mereka menoleh ke sumber suara, tapi tidak ada siapapun di sana.

---
Dan begitu, petualangan kecil mereka berlanjut—meskipun ada lebih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Apakah mereka akan menemukan lebih banyak rahasia di balik ruang yang tersembunyi itu? Atau justru mereka akan terjebak dalam misteri yang lebih dalam dari yang mereka kira? Kalian rasa, apakah petualangan ini bakal berlanjut di bab berikutnya?"

Eclat D'Amitie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang