Part 7

0 0 0
                                    



Semenjak malam itu, ada sesuatu yang berubah dalam cara Leia dan Lazlo berinteraksi. Seperti awan kelabu yang mengendap di antara mereka, ketegangan yang terus meningkat, tak kasat mata namun begitu nyata. Lazlo semakin sering memandang Leia dengan sorot yang sulit ditebak terkadang seolah ingin menjauh, tetapi di lain waktu, ada ketertarikan yang nyaris tak disadari olehnya. Sedangkan Leia, meski hatinya mulai terasa rapuh, berusaha untuk tetap bersikap lembut, terutama demi Ziko yang begitu bergantung padanya.

Hubungan Leia dengan Ziko kian hari semakin erat. Keduanya memiliki kebiasaan-kebiasaan kecil bersama, seperti menggambar di sore hari, bercerita di bawah selimut di malam hari, atau sekadar berjalan-jalan di taman kecil di depan rumah. Ada kenyamanan dalam kebersamaan mereka yang membuat Leia bahagia. Namun di balik itu, Leia tahu bahwa Lazlo mengawasi dengan perasaan yang sulit diurai.

Suatu malam, setelah selesai menidurkan Ziko, Leia beranjak menuju dapur untuk membuat teh. Ia sedang menuang air panas ke dalam cangkir ketika langkah kaki terdengar dari belakangnya. Lazlo muncul di ambang pintu, wajahnya terlihat serius.

"Leia," panggilnya datar, namun nada suaranya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.

Leia berbalik, sedikit terkejut dengan kehadirannya. "Oh, Lazlo. Ada yang ingin kamu bicarakan?"

Lazlo menghela napas, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku ingin tahu... seberapa jauh kamu berniat melibatkan diri dalam hidup kami."

Pertanyaan itu, meski terdengar ringan, mengguncang Leia. Namun, ia tetap mempertahankan ketenangannya. "Ziko butuh kasih sayang, Lazlo. Aku tidak pernah berpikir untuk menggantikan siapapun dalam hidupnya."

Lazlo menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. "Tapi kamu tahu, bukan? Bahwa dia memiliki seorang ibu... yang tak tergantikan."

Leia mengangguk pelan. "Tentu. Aku tahu dan aku mengerti itu. Tapi Ziko juga butuh seseorang di sisinya, apalagi setelah apa yang kalian berdua alami."

Lazlo mengatupkan rahangnya, seakan menahan sesuatu yang ingin ia ucapkan. "Kamu pikir bisa begitu mudah masuk dalam hidup kami dan menjadi... bagian yang penting bagi Ziko?" tanyanya, nadanya tajam, bahkan menusuk.

Leia merasa dadanya sesak mendengar nada suara itu, tetapi ia tahu Lazlo sedang berada dalam pergulatan emosionalnya sendiri. "Aku tidak mencoba menjadi ibunya, Lazlo. Aku hanya ingin dia merasa nyaman, merasa diperhatikan. Itu saja."

"Nyaman..." Lazlo mendesah, memalingkan wajah. "Apa kamu tahu betapa sulitnya bagiku melihat Ziko tertawa denganmu, sementara aku bahkan sulit untuk mendekatinya?"

Leia menatap Lazlo, perasaan simpatinya perlahan mengalir. "Lazlo... aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa diabaikan."

"Bagaimana bisa aku tidak merasa begitu? Setiap kali melihat kalian berdua, aku merasa seperti penonton dalam kehidupanku sendiri," jawabnya dengan nada getir.

Leia diam, mencoba mencari kata yang tepat untuk meredakan ketegangan. "Lazlo, aku hanya ingin membantu kalian berdua. Bukan untuk mengambil alih, tapi untuk memberi dukungan."

Namun, bukannya mereda, kata-kata Leia justru seakan memantik api di dalam diri Lazlo. "Mungkin kamu merasa baik dengan semua ini, Leia. Tapi kamu tidak pernah merasakan kehilangan itu. Kamu tidak tahu apa artinya bangun setiap pagi dengan perasaan kosong di sampingmu."

Hatinya terasa sakit mendengar nada suara Lazlo yang penuh dengan luka. Leia mengerti bahwa di balik amarahnya, Lazlo masih terbelenggu oleh kesedihan yang mendalam. Ia mendekatkan dirinya ke Lazlo, mencoba mencari tatapannya. "Aku mungkin tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seperti yang kamu rasakan, Lazlo. Tapi aku di sini, dan aku ingin berada di sini untuk kalian."

Lazlo mengangkat tatapannya dan memandang Leia dalam-dalam. Di balik kemarahan yang tampak di matanya, Leia dapat melihat keraguan, juga rasa takut. Lazlo menelan ludah, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di tenggorokannya. "Leia... jika suatu saat kamu hilang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Ziko. Aku tidak tahu apakah aku sanggup melihatnya terluka lagi."

Leia merasakan dadanya menghangat, dan tanpa ia sadari, tangannya terulur, menggenggam tangan Lazlo. "Aku di sini, Lazlo. Aku tidak berencana pergi kemana-mana. Aku ingin menjadi bagian dari hidup kalian, karena aku peduli."

Lazlo menatap tangan Leia yang menggenggam tangannya, seolah terkejut dengan keberanian kecil yang baru saja ditunjukkan Leia. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, namun kali ini bukanlah keheningan yang penuh ketegangan. Justru, ada perasaan damai yang mengalir perlahan, melunturkan sedikit demi sedikit jarak yang ada di antara mereka.

Lazlo menghela napas panjang, menurunkan nada suaranya. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Ziko. Tapi mungkin... mungkin aku sendiri yang tidak siap melihatnya bahagia tanpa rasa takut kehilangan lagi."

Leia tersenyum kecil, masih menggenggam tangan Lazlo dengan lembut. "Kita tidak bisa menghindari rasa takut, Lazlo. Tapi kita bisa memilih untuk menghadapinya bersama-sama."

Keduanya terdiam, namun dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucapkan namun begitu terasa. Ada kehangatan yang perlahan tumbuh, yang membuat malam itu terasa lebih terang dari biasanya. Entah sejak kapan, Lazlo mulai melihat Leia bukan hanya sebagai seseorang yang berada di antara dirinya dan Ziko, tetapi sebagai seseorang yang mungkin bisa membantu mereka untuk benar-benar sembuh.

Tak lama, Lazlo melepaskan genggaman tangan Leia, namun kali ini tanpa kekakuan atau ketegangan. Ia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang jarang sekali muncul di wajahnya. "Terima kasih, Leia."

Leia hanya mengangguk, merasa bahwa kata-kata sudah tidak lagi diperlukan. Mereka berdua berdiri di sana, membiarkan perasaan itu mengalir tanpa harus diungkapkan dengan kata-kata. Malam itu, untuk pertama kalinya, ketegangan yang selama ini menyelimuti mereka mulai mencair, memberikan secercah harapan baru dalam kehidupan mereka.

-------
Jangan lupa guys vote & commentnya 🙏🏻

Menolak Hati, Menjemput Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang