23. Pelepasan jabatan ketua OSIS

10 6 0
                                    

Mentari pagi bersinar lembut, menerangi lapangan SMA Angkasa yang penuh sesak oleh siswa-siswi. Barisan rapi terbentuk di tengah suasana yang lebih hangat dari biasanya. Hari itu adalah momen istimewa—perpisahan Ketua OSIS paling berpengaruh, Javan.

Di barisan kelas XII, Alea berdiri dengan tenang, memperhatikan Javan dari kejauhan. Tatapan gadis itu tidak lepas dari sosok Javan yang berdiri di depan barisan OSIS, mengenakan almamater sekolah. Ia tampak gagah, meski raut wajahnya tetap setenang biasa.

“Eh, lihat, dong. Dia keren banget!” bisik salah satu teman Alea.

Alea hanya mengangguk kecil, bibirnya menyunggingkan senyum. Dalam hati, ia tahu, hari ini adalah hari besar bagi Javan.

Di sudut lapangan, Giyo, Jendral, Rakan, Rayhan, Zeno, dan Leon berdiri mencolok dengan jaket kulit hitam mereka. Tatapan mereka penuh kebanggaan, meskipun sesekali mereka bercanda di sela-sela pidato kepala sekolah.

“Woi, siap-siap. Waketu kita bakal bikin sejarah,” celetuk Giyo sambil menepuk bahu Rakan.

“Lo yang bener, jangan sampe bikin malu,” sahut Jendral dengan nada setengah bercanda.

Setelah pidato panjang dari kepala sekolah, pembawa acara akhirnya memanggil Javan untuk naik ke podium. Langkahnya pelan tapi mantap, setiap gerakan mencerminkan kepercayaan diri yang alami. Suasana mendadak hening saat ia berdiri di depan mikrofon.

“Saya nggak akan lama,” ujar Javan, membuka pidatonya dengan suara tenang. “Tahun ini banyak mengajarkan saya tentang tanggung jawab, kerja sama, dan pentingnya sebuah keluarga.”

Kalimatnya singkat, tetapi penuh makna. Tepuk tangan kecil terdengar dari siswa-siswi di barisan belakang.

“Sekarang, saya akan menyerahkan tanggung jawab ini kepada ketua OSIS yang baru. Saya percaya, dia akan melanjutkan apa yang sudah kita mulai bersama.”

Dari sisi podium, seorang siswa laki-laki melangkah maju. Dia Arga, ketua OSIS baru. Javan menoleh, melepas almamaternya dengan gerakan perlahan, lalu menyerahkannya kepada Arga.

Almamater itu bukan sekadar almamater biasa. Ia adalah simbol tanggung jawab dan pengabdian, sesuatu yang tidak ringan untuk diemban. Javan memakaikan jaket itu ke Arga, lalu menepuk pundaknya.

“Lakukan yang terbaik,” kata Javan singkat, suaranya pelan namun tegas.

Arga mengangguk dengan wajah serius. “Terima kasih, Kak. Saya nggak akan ngecewain.”

Sorak-sorai langsung menggema di lapangan. Barisan siswa riuh bertepuk tangan, sementara di belakang, geng Vargasrioz lebih heboh dari siapa pun.

“WOI, LO KEREN, VAN!” teriak Zeno, membuat beberapa guru melirik tajam.

Javan melirik sedikit ke arah mereka, senyum tipis terlukis di wajahnya. Ia lalu turun dari podium, disambut tepukan pelan di punggung dari Giyo dan Jendral.

“Gue bilang apa, bro? Lo bikin sejarah!” ujar Giyo dengan nada bangga.

“Yoi!” jawab mereka kompak.

Di barisan kelas XII, Alea masih berdiri di tempatnya, memperhatikan dari jauh. Ada rasa haru yang sulit ia jelaskan, tapi ia tahu, hari itu adalah momen yang akan selalu ia ingat.

*****

Alea menatap Javan dengan pertanyaan yang sudah mengendap di pikirannya sejak lama. "Lulus SMA,  kamu mau lanjut kemana, Va?"

Javan tersenyum sambil meneguk minumannya. "Ambil di UI, sekalian urus perusahaan papa. Kalo lo?"

Alea menghela napas ringan, sedikit ragu. "Kerja di cafe, kuliahnya nanti-nanti dulu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JAVAN DAN SEMESTANYA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang