Hari sudah hampir menjelang tengah malam. Jam dinding ruang tamu di sebuah apartemen itu sudah menunjukkan pukul 11.45 malam waktu setempat. Namun seluruh lampu di apartemen tersebut belum padam. Satupun belum. Tampak si laki-laki penyewa apartemen baru saja keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi susu untuk ke sekian kalinya. Ia ingin tetap terjaga tanpa ada gangguan rasa kantuk sedikit pun.
Sambil berhati-hati, ia berjalan ke arah laptopnya yang berada di ruang tamu. Apartemen itu cukup luas. Ada dua buah kamar tidur, namun hanya satu kamar tidur yang ada kasurnya, yang satu lagi dijadikan gudang, satu dapur yang di lengkapi meja makan, dan sebuah ruang tamu kecil.
Laki-laki muda itu segera duduk di sofa sambil kembali berkutat pada laptopnya setelah ia menaruh cangkir kopi susunya di atas meja.
"Sial! Kenapa aku harus lupa kalau ada tugas ini sih? Jadi kelabakan begini kan jadinya?!" omelnya. Sambil mengetik dengan cukup cepat, ia terus saja mengerjakan tugas kuliahnya sambil sesekali meminum beberapa tegus kopi susunya.
Hingga akhirnya satu setengah jam setelahnya, ia mendesah dengan keras sambil menyadarkan punggungnya di sandaran sofa. Tugas kuliahnya sudah selesai. Tinggal di-print dan dijilid. Tapi itu besok saja, toh besok jadwal kuliahnya siang. Segera ia menyimpan datanya lalu men-shutdown laptopnya. Sebelum di shutdown, tampak tampilan wallpaper standby laptopnya yang hanya berisi tulisan dengan huruf besar-besar yang merupakan nama lengkap si pemilik laptop. Harvi Maharaja. Entah kenapa kedua orang tuanya memberi nama seperti itu. Tapi menurutnya itu tidak terlalu penting selama masih terdengar keren.
Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di samping cangkir kopi susunya berdering tanda panggilan masuk. Ia meraihnya dengan enggan lalu memandang rentetan nama di layar ponselnya. Marik Aldavi, teman kuliahnya yang satu jurusan dengannya.
"Halo, Marik. Ada apa?" sapanya langsung.
"Harvi! Kamu sudah memgerjakan tugas kuliah untuk besok belum?" tanya Marik. Sepertinya Harvi paham kemana arah pembicaraan ini.
"Sudah selesai. Memang kenapa?"
"Um.. Aku belum ngerjain sama sekali nih..," Marik terdengar agak malu-malu
Harvi tersenyum kecil.
"Iya... Iya... Aku tahu kok maksudmu. Kamu bisa pakai punyaku. Tapi inget, harus di edit sesempurna mungkin. Pokoknya jangan sampai sama semuanya," ujar Harvi. Bagaimana mungkin Harvi bisa menolak permintaan anak itu? Hampir setiap hari Marik selalu menjemput Harvi setiap berangkat ke kampus dan mengantarnya pulang. Padahal apartemen Harvi dengan Marik tidak satu arah, tapi Marik tetap bersikeras untuk mengantar-jemput Harvi.
Sejujurnya, dulu sekali ketika pertama kali mengenal Marik, Harvi sedikit tidak suka karena Marik selalu berpenampilan seperti preman. Dengan rambut pendek yang tidak pernah rapi dan pakaian awut-awutan yang entah bagaimana cara menjelaskannya. Tapi karena Marik memiliki tipikal wajah yang tampan, membuatnya seperti cocok memakai pakaian cowok apa saja.
Dan setelah cukup lama mengenal Marik, ternyata dia itu orangnya baik juga.
"Oke, Harvi! Sip! Makasih banyak ya! Besok aku traktir makan bakso deh sepulang dari kampus. Tapi satu mangkok buat berdua."
"Hahaha! Terserah kamu saja lah," balas Harvi.
"Baiklah kalau begitu. Aku mau tidur. Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa."
Tut... Tut... Tut... Harvi menekan tombol merah ponselnya. Ia memandang layar ponselnya seraya menggeleng dengan senyum kecil.
Harvi masih belum merasa mengantuk. Kalau dipaksakan tidur, nanti malah membuatnya pusing. Jam dinding juga sudah menunjukkan hampir jam setengah dua pagi. Kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya untuk mencari udara segar di luar apartemen. Walaupun nanti yang ia dapatkan hanya udara malam yang dingin, paling tidak itu sudah cukup untuk melemaskan kembali otot-otot tubuh dan otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAT (boyxboy)
RomanceCerita ini cuma secuil kisah dari seorang mahasiswa laki-laki yang menemukan cintanya. WARNING!! LGBT