Harvi dan Marik keluar dari ruangan dosen dengan lega setelah tugas mereka diterima tanpa kritikan berarti. Seperti baru saja berhasil lolos dari kandang singa.
"Aku mau ke kantin," kata Marik.
"Oke, kau pergilah dulu ke kantin. Aku mau ke perpustakaan sebentar, mencari beberapa referensi untuk tugas minggu depan. Lebih baik segera dicicil dari sekarang. Takutnya jadi mendadak seperti tugas tadi. Bahkan aku yakin kalau mungkin tugasku tadi hanya mendapatkan nilai standar minimal."
"Baiklah, kalau begitu aku akan ikut denganmu," kata Marik yang sejurus membuat Harvi mengernyitkan alis.
"Jangan bodoh. Kau kan tidak suka dengan perpustakaan," cegah Harvi. Marik tersenyum senang, ternyata Harvi ingat hal itu.
"Tidak apa-apa. Siapa tahu aku bisa membantumu. Aku...." Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, terdengar suara kecil seorang perempuan dari kejauhan.
"Kak Marik!!" teriaknya sambil berlari. Tampak seorang gadis cantik berambut sebahu dengan bando putih yang tengah berlari kecil menghampiri mereka.
"Kak Marik kemana saja? Aku lelah mencarimu ke sana kemari."
Marik seperti kebingungan menghadapi gadis ini.
"Oh, Aulin. Aku... ehm.. aku... sedang sibuk. Aku harus harus ke perpustakaan bersama Harvi untuk menyelesaikan tugas," kata Marik berbohong sambil merangkul pundak Harvi. Marik memang selalu merasa risih setiap perempuan centil ini berusaha mendekatinya. Namun ia selalu berusaha untuk bersikap santai.
Aulin Bilenna adalah junior di fakultas mereka berdua. Terkenal dengan sikapnya yang centil dengan semua laki-laki tampan di kampus. Termasuk Marik. Tapi untungnya Aulin masih tahu diri. Ia hanya berani menggoda laki-laki tampan yang masih belum punya pacar.
"Kak Marik! Kenapa sih selalu menghindar dariku? Aku kan hanya ingin bisa mengenal Kak Marik lebih dekat," gerutu Aulin secara terang-terangan.
"Maaf ya. Aku benar-benar tidak bisa. Baiklah kalau begitu, kita pergi dulu. Sampai jumpa!" salamnya sambil melempar senyum lalu berjalan bersama Harvi meninggalkan Aulin yang tengah mencak-mencak karena kesal sendiri.
"Aku masih tidak percaya kalau ada gadis separah itu di kampus ini. Bayangkan, dia berusaha untuk menggoda hampir setiap laki-laki tampan di kampus. Cantik-cantik, tapi otaknya miring," omel Marik.
Harvi tertawa renyah. "Tapi sepertinya dia memperlakukanmu berbeda dengan yang lain. Mungkin dia benar-benar jatuh cinta padamu. Kenapa kamu tidak mencoba untuk mengenal Aulin lebih dekat. Siapa tahu kalian jodoh!" Harvi lanjut tertawa lagi.
Marik malah mencibir sambil menepuk kepala Harvi. "Daripada pacaran dengan Aulin, lebih baik aku pacaran sama kamu."
Deg! Jantung Harvi seakan berhenti berdenyut.
Apa yang baru saja diucapkan Marik barusan? Apakah itu hanya lelucon atau apa? Harvi merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya.
"Pacaran sama aku? Maksudmu?"
Marik menoleh memandang Harvi. "Ayolah. Aku hanya bercanda. Tidak usah menanggapinya terlalu serius. Atau jangan-jangan kamu ingin kita pacaran sungguhan?" goda Marik.
Harvi memukul kepala Marik keras-keras.
"Aduh! Sakit! Iya.. Iya.. Aku minta maaf. Aku kan hanya bercanda," keluh Marik sambil mengusap-usap kepalanya sendiri.
"Candaanmu sama sekali tidak lucu. Sudahlah. Ayo cepat, kita ke perpustakaan sekarang. Setelah itu kita makan siang bersama di kantin," cerocos Harvi.
Marik tersenyum senang. Harvi tidak benar-benar marah padanya. Apalagi ia masih menyematkan kata 'bersama' di kalimatnya yang terakhir. Itu artinya Harvi masih sangat membutuhkan keberadaan Marik di sisinya.
"Siap, Pak! Laksanakan!" serunya sambil memberikan sikap hormat dengan dada membusung. Harvi hanya tertawa kecil sembil mendorong dada Marik pelan.
***
Hujan rintik-rintik tampak membuat suasana sore ini sangat sendu. Apalagi pas Harvi menonton film India di televisi saat adegan sedih. Membuat matanya sedikit memerah karena terlalu mendalami alur cerita. Tapi tak sampai mengeluarkan air mata.
Tak berselang lama, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu apartemennya, membuat Harvi menaikkan kedua alisnya, seolah-olah baru saja bangun dari mimpi menjadi tokoh utama dalam film India.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu terdengar lagi.
Harvi merasa sedikit terganggu. "Iya! Iya! Tunggu sebentar!" Ia berjalan menuju pintu apartemen dengan sedikit ogah-ogahan. Ketika pintu terbuka, berdirilah seorang laki-laki di depan pintu dengan mengenakan pakaian sangat formal, dengan setelan jas dan celana berwarna abu-abu. Laki-laki itu tersenyum ramah. Wajahnya sangat familiar sekali.
"Alanda?!!" pekik Harvi kaget ketika menyadari kalau laki-laki itu adalah Alanda Trihatmadja. Dan yang paling aneh adalah laki-laki itu membawa sebuah.... koper pakaian? Untuk apa...?
"Halo, Harvi." sapanya malu sambil mengusap-usap tengkuknya sendiri.
"Apa yang kau lakukan di sini? Dan kenapa kau membawa koper segala?!!"
"Um... Aku... sebenarnya... aku ingin... aku ingin tinggal di... apartemenmu."
"TINGGAL DI APARTEMENKU?!!!" teriak Harvi serasa hampir meledak.
"Tenang! Tenanglah, Harvi! Ini hanya untuk sementara! Tidak lama, kok," ucap Alanda agak panik, berusaha menenangkan Harvi sambil celingukan, takut kalau ada yang mendengar teriakan anak itu.
"Hei, Bung! Kau kira ini hotel?" Harvi mulai jengkel. Alanda mulai kehabisan ide untuk merayu Harvi. Sampai ia teringat akan sesuatu. Ia mengeluarkan dompet cokelatnya lalu menyodorkannya pada Harvi.
"Ini, aku serahkan dompetku padamu sebagai jaminan, kalau aku tidak akan bertindak macam-macam selama aku tinggal di apartemenmu!"
Harvi membuka mulutnya ingin membalas, tapi ia urungkan ketika melihat beberapa penghuni apartemen yang lainnya tampak memandang mereka berdua dengan tatapan aneh. Harvi mengembuskan napas tanda menyerah.
"Masuklah!" ujarnya cepat sambil menyingkir sedikit dari ambang pintu. Alanda tersenyum menang sambil memasukan kembali dompetnya dan segera masuk ke dalam apartemen Harvi.
(Bersambung...)
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAT (boyxboy)
RomanceCerita ini cuma secuil kisah dari seorang mahasiswa laki-laki yang menemukan cintanya. WARNING!! LGBT