"Aku tidak tahu pasti... Tapi menurutku, sepertinya Marik.... menyukaimu."
"Menyukaiku?! Tidak mungkin!!" seru Harvi sambil mengacungkan jari telunjuk ke wajahnya sendiri.
"Mungkin saja. Memangnya kau sudah pernah melihat anak itu pacaran dengan seorang gadis? Atau paling tidak mendekati salah satu gadis di kampus?"
Harvi menunduk menatap jari-jemarinya yang sedang bergerak-gerak saling menjalin. Ia memang belum pernah melihat Marik melakukan kedua hal yang dikatakan Angelinn barusan. Bahkan ketika mereka berdua sedang hang out berdua, mereka jarang sekali membicarakan soal gadis.
Benarkah Marik menyukainya? Benarkah demikian? Kalau dipikir pikir memang sih Marik berperilaku aneh pas tadi Alanda datang dan mengajaknya pergi.
Itu masih belum bisa dibuktikan. Tapi walau bagaimana pun, berpikir seperti itu membuat rasa sedihnya seakan menguap tak berbekas. Malah membuatnya penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada Marik dan membuatnya berubah seperti itu.
"Nih, minum dulu es sirupmu. Biar hatimu jadi dingin," ujar Angelinn sambil menyodorkan segelas es sirup yang tadi dibuatnya.
Harvi menerimanya tanpa berkata apapun. Ia meminumnya sedikit demi sedikit. Dan yang diucapkan kakak perempuannya itu memang benar. Hati dan pikirannya mulai merasa nyaman kembali. Ia memandang ke luar jendela.
Matanya tampak melirik ke atas mencoba mengingat-ingat apakah tadi sebelum ia pergi bersama Alanda ia sempat salah ucap. Ia berusaha memutar kembali memorinya. Sambil meminum es sirup.
Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya dengan cepat hingga membuat Harvi tersedak dan batuk-batuk.
"Kamu kenapa sih? Makanya kalau minum tidak usah langsung banyak-banyak," oceh Angelinn.
Tapi Harvi tidak menjawab. Ia jadi kepikiran dengan apa yang ia katakan tadi dan berusaha mencari jawaban. Jika Marik memang menyukainya, mungkinkah ia marah pas mengetahui kalau Alanda membawa kunci cadangan apartemennya? Apakah Marik berpikir kalau dirinya dan Alanda........... pacaran? Oh, astaga!
Kenapa urusannya jadi tidak karuan begini?
***
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.11 malam waktu setempat ketika Alanda tiba di apartemen setelah berkeliling mencari keberadaan Harvi. Tapi hasilnya nol besar.
Alanda berjalan ke dapur, mengambil air dingin dan meneguk isinya langsung dari botol. Pikirannya benar-benar kacau. Kemana perginya anak itu? Kenapa jam segini belum pulang juga? Bagaimana kalau nanti dia kenapa-kenapa? Bagaimana nanti kalau seandainya anak itu pingsan di jalan? Atau kena rampok? Atau..........
Argh! Ia segera menyingkirkan pikiran-pikiran bodoh itu dari pikirannya. Harvi pasti sedang berada di suatu tempat setelah dari rumah Marik. Tapi kenapa? Apa yang terjadi pada mereka berdua? Sepertinya mereka baru bertengkar. Seharusnya ia tidak meenurunkan Harvi di rumah Marik. Seharusnya ia langsung membawa Harvi pulang. Ini semua salahnya.
Tidak lama kemudian, terbunyi pintu apartemen yang terbuka. Alanda segera meletakan botol air dinginnya dan langsung berlari menuju ke ruang depan.
Setibanya disana, ia melihat Harvi yang tengah menutup pintu apartemen dan menguncinya.
Begitu Harvi berbalik badan, anak itu sedikit terkejut melihat Alanda yang sudah berada di depannya secara tiba-tiba sambil berkacak pinggang. Laki-laki itu memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, membuat Harvi bingung.
"Maaf, aku pulang terlambat," beberapa potong kata meluncur dari bibir Harvi. Tapi setelah dipikir-pikir kemudian, untuk apa ia berkata seperti itu? Ini kan apartemennya sendiri.
"Dari mana saja kau?" tanya Alanda sinis.
"Aku dari... rumah temanku."
"Kenapa ponselmu tidak aktif?!" tanya Alanda lagi. Kali ini suaranya terdengar sedikit lebih keras.
"Ponselku mati, tadi pagi lupa belum di-recharge. Aku ke kamar dulu," ucapnya sambil berjalan melewati Alanda menuju kamar tidur. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa pada laki-laki itu. Padahal ponselnya tidak benar-benar habis baterai. Dia sendiri yang mematikan ponselnya saat perjalanan menuju tempat Angelinn.
Ia duduk di bangku belajarnya dan mencolokan ponselnya dengan charger. Ketika ia berdiri, ia terlonjak melihat Alanda sudah berdiri di depannya.
"Kau bertengkar dengan Marik?" tanya Alanda lagi, yang membuat Harvi menyipit.
"Dari mana kau tahu?" tanya Harvi.
"Marik tadi ke sini dengan keadaan yang sangat buruk. Hidungnya berdarah, sepertinya tulang hidungnya patah. Kau berkelahi dengan Marik?"
Mendengar hal itu membuat napas Harvi tercekat. Keadaaan yang sangat buruk? Hidungnya patah? Kenapa dengan Marik? Mendadak perasaannya merasa tidak enak.
"Aku tidak berkelahi dengan dia! Lalu dimana dia sekarang?" tanya Harvi yang sepertinya mulai mengesampingkan masalahnya dengan Marik.
"Aku tidak tahu." Hanya itu kalimat yang diucapkan Alanda. Entahlah. Ia merasa tidak suka kalau Harvi lebih perhatian pada Marik ketimbang dirinya.
Harvi kini semakin yakin dengan perkiraannya. Ia mulai merasa cemas. Marik itu orangnya gigih, mungkin ia tidak akan pulang sebelum bisa menemukan dirinya.
"Alanda! Bisakah kau membantuku mencari Marik?" pinta Harvi. Alanda mendecakkan lidah sambil membuang muka. Harvi tidak mengerti kalau dirinya dari tadi sudah hampir putus asa karena Harvi belum pulang-pulang.
Ya Tuhan! Kenapa dengan dirinya? Apakah dirinya tidak normal? Kenapa ia bisa menyukai.... laki-laki?
(Bersambung...)
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAT (boyxboy)
RomantikCerita ini cuma secuil kisah dari seorang mahasiswa laki-laki yang menemukan cintanya. WARNING!! LGBT