Mobil sedan itu tiba di sebuah rumah yang tampak cukup bagus. Ini adalah rumah orang tua Marik, sebelum akhirnya mereka pindah ke Jakarta setahun lalu untuk masalah pekerjaan. Namun Marik memutuskan untuk tidak ikut orang tuanya, dan melanjutkan pendikikannya di kota kelahirannya ini. Harvi segera turun duluan, berlari ke pintu depan untuk menekan bel pintu. Alanda berjalan dengan ogah-ogahan dari belakang.
Setelah menekan bel selama tiga kali, pintu rumah itu baru terbuka. Marik muncul dari belakang pintu dengan wajah putih pucat, hanya mengenakan sweater merah pudar lengan panjang, dan celana jeans panjang yang bagian lututnya berlubang. Rambutnya benar-benar tidak teratur.
"Marik? Bagaimana demammu?" tanya Harvi langsung mendekati Marik sambil memperhatikan wajahnya dari dekat dan menempelkan telapak tangannya ke kening Marik.
"Tidak usah lebay begitu! Aku tidak apa-apa kok."
Harvi memberengut sambil menurunkan tangannya. "Tidak apa-apa bagaimana? Wajahmu pucat, dan suhu tubuhmu masih panas begini kau bilang tidak apa-apa?! Sekarang istirahatlah di kamarmu," Harvi mendorong Marik menuju kamarnya.
Baru beberapa langkah, Harvi berhenti, seperti lupa akan sesuatu. Ia menoleh ke belakang. "Oh iya. Alanda, masuk dan duduklah."
Alanda mengangguk lemah sambil menyunggingkan senyum tipis.
***
Marik berbaring di atas kasur sambil menutupi tubuhnya dengan selimut hingga batas lehernya.
Harvi duduk di tepi kanan kasur setelah menaruh kantong kresek berisi oleh-oleh dari supermarket, yang kebanyakan buah-buahan. "Sudah makan?"
Marik mengangguk lesu.
"Sudah minum obat?"
Kali ini Marik menggeleng.
"Kenapa kau tidak minum obat?!" tanya Harvi marah-marah.
"Ini cuma demam biasa kok."
"Tapi bagaimana mau sembuh jika kau tak mau minum obat?" gerutu Harvi sambil berjingkat sedikit meraih kantong kreseknya tadi. Ia mengeluarkan satu blister obat demam dan membukanya satu lalu mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di atas meja.
"Ayo duduk!" perintah Harvi.
"Aku tidak mau minum obat!"
"Kenapa kau begitu keras kepala sih?! Kau mau sembuh atau tidak?!" bentak Harvi.
"Obat itu pahit! Aku tidak bisa minum obat dengan air putih!"
Harvi terhenyak. Benar juga, ia lupa kalau Marik tidak bisa mengonsumsi obat dengan air putih. Kalau begitu.....
"Coba kau makan bersama dengan buah pisang."
Marik menaikkan kedua alisnya. "Dengan buah pisang?"
"Iya. Dengan buah pisang. Bukan kulitnya."
***
Alanda duduk di sofa sambil mengurut-urut keningnya yang terasa berat. Bukannya pusing, tapi mengantuk. Biasanya sepulang dari kantor ia langsung istirahat di rumah, dan bangun ketika hari sudah mulai petang.
Tapi untuk Harvi, tak apalah. Lagipula temannya juga sedang sakit.
Beberapa saat kemudian, ponsel yang berada di saku kemeja putihnya berdering.
"Halo?" sapa Alanda langsung tanpa melihat layar ponsel.
"Halo? Sayang?! Kamu ada dimana sih? Sudah berhari-hari aku berusaha mencarimu kemana-mana. Aku menghubungimu setiap hari tapi kau tak pernah menjawab telpon dariku! Apa karena kejadian waktu itu? Aku minta maaf! Aku tidak sengaja melakukannya. Dia yang menggodaku lebih dulu! Aku ingin kita bisa kembali seperti dulu lagi! Aku janji tidak akan mengecewakanmu lagi! Aku janji!" cerocos suara seorang wanita dari seberang telepon.
Alanda diam. Ini adalah kali pertama ia mendengar suara Dezia lewat telepon setelah kejadian itu. Benar-benar penjelasan yang tidak masuk akal. Ia tahu kalau Dezia pasti hanya membual. Alanda menghembuskan napas dengan sungguh berat. Seperti mengeluarkan batuan kerikil dari paru-parunya.
"Tidak usah membahas hal itu. Lupakan saja."
"Jadi kau memaafkanku? Kita bisa kembali seperti dulu lagi, kan?" ujarnya sedikit girang.
"Ya, aku mungkin bisa memaafkanmu. Tapi sayang sekali, kita tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi. Aku sudah menelpon kedua orangtuamu tadi pagi untuk membatalkan semua pertunangan kita. Sekarang mumgkin kita bisa memulai dari awal lagi. Anggap saja kita tidak pernah berkenalan sebelumnya," balas Alanda dingin.
"Tidak! Aku tidak mau menuruti perkataanmu! Pokoknya aku tidak mau putus darimu, sayang! Aku mencintaimu! Maafka....," Alanda menjauhkan ponsel dari telinganya dan mengakhiri percakapan mereka. Dimatikannya ponsel itu lalu ia masukkan lagi ke tampat semula.
Diraupkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Hatinya kembali merasakan sakit ketika memgingat-ingat saat ketika Dezia bercumbu dengan laki-laki itu. Ia bilang ia tidak sengaja. Tapi kenapa selama lima menit penuh ia terus bercumbu, bahkan tangan laki-laki itu sempat meraba-raba tubuh Dezia.
"Tidak tahu malu!" gerutunya dengan berbisik.
Tapi yang membuatnya heran, kenapa selama dua puluh empat jam terakhir ia tidak memikirkan Dezia sama sekali. Seperti ada seseorang yang sudah menyedot seluruh perhatiannya. Apakah itu Harvi? Tapi bagaimana bisa ia tertarik pada laki-laki?
"Hei, Bung! Kau masih normal!" ucapnya pada diri sendiri.
***
Harvi menutup pintu kamar Marik pelan-pelan setelah ia tertidur pulas. Ia berjalan ke ruang tamu. Sudah sejak dua jam yang lalu ia berada di rumah Marik untuk membereskan sedikit kamarnya yang berantakan. Ia tahu kalau Marik jarang sekali membereskan kamarnya sendiri, tapi anak itu malah selalu menjaga bersih ruang tamu.
Dan sekarang sudah beres. Ia perlu cepat-cepat pulang untuk segera mandi. Sekarang jam berapa ini? Harvi mengangkat pergelangan tangan kirinya. Tapi jam tangannya tidak ada.
Setelah berpikir beberapa saat, ia menepuk dahi. Ia memang lupa membawa jam tangan sejak tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Tapi di ruang tamu rumah Marik pasti ada jam dinding. Ia mempercepat langkahnya menuju ruang tamu.
Namun bukannya melihat jam, sosok Alanda mencuri perhatiannya lebih dulu. Laki-laki itu tampak berbaring dengan pulas di atas sofa dengan kedua lengan dilipat di atas dada.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Harvi tersenyum kecil sambil melangkah mendekati sofa. Diperhatikannya wajah Alanda yang tengah terlelap dari jarak yang sangat dekat. Wajah tampan itu tampak begitu polos jika sedang tidur.
Mendadak, tiba-tiba Harvi mendekatkan kepalanya ke wajah Alanda. Entah ada magnet atau apapun itu, sesuatu tengah menariknya. Jantungnya berdegup tidak normal. Pandangannya mulai mengerucut ke satu arah. Wajah Alanda semakin dekat dan semakin dekat. Bahkan napas Alanda yang hangat terasa hangat membelai wajahnya.
Ketika Harvi menemukan kesadarannya, ia segera menghentikan gerakannya pada saat itu juga sambil memejamkan kedua matanya erat-erat. Cepat-cepat, ia kembali berdiri sambil menggelengkan kepalanya cepat-cepat.
"Astaga! Kau benar-benar sudah gila! Sadarlah, Harvi! Sadar! Ini dunia nyata! Tak semua laki-laki menyukai laki-laki! Sadarlah! Bisa runyam jadinya nanti kalau kau melakukan hal sebodoh itu!" gerutunya sambil memukul-mukul jidat.
Tapi kenapa Harvi bisa-bisanya berbuat seperti tadi? Ia kan belum lama mengenal Alanda. Bagaimana mungkin ia menyukai Alanda?
(Bersambung...)
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAT (boyxboy)
RomanceCerita ini cuma secuil kisah dari seorang mahasiswa laki-laki yang menemukan cintanya. WARNING!! LGBT