Begitu tiba di dalam kamar, Alanda merebahkan tubuhnya dengan lepas sembari mendesah. Ia kembali lagi ke kamar ini. Entah kenapa ia merasa lebih nyaman tinggal disini, meninggalkan rumahnya sendiri dihuni sepasang suami istri paruh baya yang menjadi pambantu rumah.
Alanda ingin tahu, seberapa besar penyesalan Dezia terhadap perbuatannya. Apaakah dia akan berhasil menemukan Alanda disini?
Untunglah kemarin malam ada orang setulus Harvi yang menemukan dan menolongnya. Kalau bukan karena Harvi, dia mungkin tidak punya ide untuk bersembunyi dari Dezia. Wanita itu memang sudah keterlaluan. Ia tidak ingin lagi bertemu dengan orang yang sudah menyia-nyiakan dirinya sekejam itu.
Samar-samar, Alanda baru menyadari suara televisi dari luar kamar. Sepertinya Harvi sedang asyik menonton. Ia jadi penasaran, acara apa yang sedang ditonton anak itu.
Pelan-pelan, Alanda beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar. Di bukanya pintu itu sedikit hingga ia bisa mengintip layar televisi.
Film India? Harvi sedang menonton film India? Alanda jadi geli sendiri. Ia tertawa kecil tanpa suara. Ia tak habis pikir, Harvi sepertinya gemar sekali menonton film India. Apa yang ia sukai dari film-film yang kebanyakan adegannya tampak dilebih-lebihkan itu?
Alanda menggeleng. Harvi benar-benar laki-laki yang sulit ditebak. Mungkin ia butuh waktu lama untuk bisa mengenal Harvi lebih dalam.
Dengan perasaan puas, Alanda berjalan kembali ke tempat tidur dan menengkurapkan tubuhnya.
Suara hujan rintik-rintik diluar terdengar sangat menenangkan. Kapan ia terakhir kali merasakan ketenangan seperti ini? Sepertinya sudah lama sekali.
Semakin lama, ia merasakan tubuhnya semakin berat dan semakin berat. Pandangannya mulai mengabur sedikit demi sedikit. Hingga beberapa saat kemudian ia tertidur, namun masih dengan memakai pakaian kantor lengkap.
***
Harvi mematikan televisinya sambil menggerutu kesal seusai menonton film India yang tadi.
"Film bodoh! Kenapa harus berakhir sedih? Tahu begini seharusnya aku tidak usah nonton! Buang-buang waktu saja! Dasar film sialan!" umpatnya jengkel. Sebenarnya Harvi sangat menyukai film India. Apalagi ketika ada adegan menyanyinya. Tapi Harvi tidak suka jika berakhir sedih ataupun tragis. Rasanya percuma saja menonton film yang memiliki akhir seperti itu. Sama sekali tak berkesan.
Ia melirik jam dinding di dekatnya. Pukul tujuh malam lebih enam belas menit. Dan ia juga baru sadar kalau ia belum makan malam. Perutnya terasa hampa dan sedikit panas.
Ngomong-ngomong, bukankah Alanda juga belum makan malam? Ia belum keluar kamar sejak datang tadi sore. Harvi beranjak menuju kamar sambil mengelus-elus perutnya. Ia langsung membuka pintu kamar tanpa mengetuknya dahulu.
Tampak Alanda tengah berdiri di depan cermin lemari tanpa mengenakan atasan, hanya memakai celana jeans panjang hitam, mempertontonkan lekuk-lekuk otot badannya yang terlihat bagus, tampak sedikit basah. Rambut kepalanya juga basah. Sepertinya ia baru saja mandi. Harvi sempat melongo selama beberapa detik sambil mengagumi pemandangan di depannya, sosok Alanda yang terlihat begitu menawan, sebelum akhirnya ia kembali pada kesadarannya ketika Alanda mengetahui kehadiran Harvi.
"Eh! Uhmm.... Apa kamu sudah makan malam?" tanya Harvi sedikit gugup. Alanda segera memakai kemeja putih polosnya yang sudah ia siapkan di atas tempat tidur.
"Sudah."
Harvi mengernyit. "Bukankah kamu dari tadi sore mengeram di kamar terus di dalam kamar?"
Alanda menepuk kepala Harvi. "Mengeram apanya? Memang kau pikir aku ini ayam? Aku memang belum keluar kamar sejak tadi."
Harvi mendengus sambil mengusap usap kepalanya. "Lantas, kau makan apa?"
"Makan angin," gurau Alanda. "Sudah jelas-jelas dari tadi aku di kamar, tentu saja aku belum makan malam."
Hervi memberengut. "Kenapa jawabanmu harus seperti itu? Bilang saja belum kalau memang kau belum makan. Jangan suka membuat orang kesal!"
Alanda tertawa geli. Ia baru sadar ternyata menggoda Harvi adalah kegiatan yang sangat menyenangkan baginya.
"Aku mau pergi keluar, cari makan!" Harvi berputar cepat sambil melangkah keluar kamar. Namun tanpa diduga, Alanda meraih pundak Harvi dan menariknya ke belakang. Tarikan Alanda yang tiba-tiba membuat Harvi oleng ke belakang karena tidak bisa menahan keseimbangan.
Dengan sigap, Alanda segera menahan tengkuk Harvi dengan tangan kanannya dan tangan kiri menahan pinggangnya. Tampak persis seperti salah satu gerakan tarian salsa, atau mungkin tarian tango. Wajah mereka berhadapan begitu dekat. Benar-benar sangat dekat hingga Harvi pun bisa merasakan hembusan napas Alanda di wajahnya.
Bola mata Alanda yang berwarna cokelat terang tampak begitu tajam.
Alanda mendehem. "Kau tahu, tubuhmu itu tak seringan gumpalan kapas."
Sontak, Harvi langsung mendirikan tubuhnya dengan salah tingkah bercampur malu. "Maafkan aku."
"Tidak usah dipikirkan. Daripada kamu jatuh, terus kepalamu terbentur dan gagar otak?"
Harvi hanya bisa menyengir. Bagaimana bisa Alanda mengatakan hal seperti itu dengan lancarnya?
Alanda mendehem lagi. "Sekarang kau mau makan apa? Kita makan malam sama-sama di luar. Biar aku traktir."
Mendengar hal itu, mata Harvi langsung berbinar-binar. "Sungguh? Kau mau menraktirku makan malam?"
"Sungguh. Tapi aku maunya yang murah-murah saja. Seperti warung tenda pinggir jalan atau semacamnya. Ini kan mendekati tanggal tua. Jadi aku harus bisa menghemat uangku," ucapnya.
Harvi mendengus. Ia tidak yakin kalau orang yang memiliki pekerjaan dengan jabatan tinggi seperti Alanda bisa mengalami krisis dompet di tanggal tua.
"Aku sepertinya tahu tempat yang cocok dan murah untuk kita."
"Benarkah? Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo berangkat sekarang!" ujar Alanda penuh semangat sambil menggandeng tangan kanan Harvi tanpa sadar.
(Bersambung...)
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAT (boyxboy)
RomanceCerita ini cuma secuil kisah dari seorang mahasiswa laki-laki yang menemukan cintanya. WARNING!! LGBT