Sebelas

9 6 1
                                    

Tiara Ayu meninggalkan sekolah dua puluh menit lebih awal dari Lia Ruhani, namun sebagian jalur mereka sama, bertemu pada titik yang tak direncanakan di hari yang tak terduga ini.

Ketika Lia dan Hantu Pria Muda hampir melewati jembatan, terdengar suara tangis nyaring memecah suasana sepi. Di bawah jembatan, Tiara menangis terisak, suaranya melengking dan mengalir seperti ketel yang mendidih. Anehnya, tak seorang pun tampak memperhatikannya. Bahkan ibunya sendiri yang berdiri tak jauh, sibuk mengobrol seolah tak terjadi apa-apa.

Lia merasakan sesuatu yang tak nyaman dalam hatinya. Tiara menangis begitu pilu hingga ia tak tega berlalu begitu saja. Pandangannya terikat pada sosok itu—menyaksikan derai air mata dan kesedihan yang terasa asing, namun dekat.

Apalagi, Lia menyadari sosok wanita yang berdiri di hadapan Tiara. Ia mengenal wajah itu, tahu siapa dia. Keinginan untuk mendekat begitu kuat.

"Ayah, Ayah, aku ingin ke sana," bisiknya lembut pada Hantu Pria Muda, memohon tanpa suara.

Hantu Pria Muda menatap ke arah jembatan itu, menyadari adanya kegelisahan di sana. Ia ragu, ingin mengabaikan, tetapi ekspresi penuh kepedulian di wajah Lia Ruhani membuatnya tak kuasa untuk berkata tidak. Dia ingat pernah membaca di buku parenting: Hormati pemikiran anak, perhatikan perasaan batinnya, jangan terlalu banyak melarang rasa ingin tahu atau membatasi tindakan mereka.

Maka, ketika Hantu Pria Muda tak berkata apa-apa, Lia merasa itu adalah izin. Dengan penuh keberanian, dia melangkah mendekati Tiara.

Dari belakang, ia melihat wanita di dekat Tiara mengulurkan tangan ke arah arus air di bawah jembatan.

"Apa yang sedang kakak lakukan?" tanya Lia, suara kecilnya memecah keheningan.

Wanita itu tak segera menjawab. Akhirnya, dengan nada dingin yang aneh, dia berucap tanpa menoleh, "Aku hanya bertanya padanya... apakah aku terlihat cantik."

Lia mengerjap, sedikit lega. "Kakak terlihat cantik," jawabnya polos, penuh kejujuran yang tulus.

Namun, Tiara tetap menangis, tangannya gemetar ketakutan. Mungkin dia takut pada wanita berwajah pucat dan mata gelap itu, seperti halnya anak-anak dulu saat bermain bersama. Lia berusaha menenangkan, "Tiara, lihat baik-baik. Kakak ini hanya berkulit putih dan bermata gelap. Tapi dia sama saja seperti kita. Tak ada yang perlu ditakuti."

Sementara Lia berbicara, wajah wanita itu tetap membelakangi, tampak retak dengan luka yang menampakkan tulangnya. Kepala wanita itu miring lebih jauh, seolah menyembunyikan sesuatu.

"Sama?"

Perlahan wanita itu bergumam, hampir tak terdengar, "Itu karena kau belum melihat wajahku sekarang..."

Kata-katanya membuat Lia bingung. "Sekarang?" ulangnya polos, memiringkan kepala penuh rasa ingin tahu.

Wanita itu tersentak, menyadari ia tak sengaja berbicara terlalu keras. Lia kini menatapnya lebih dekat, tatapannya menyiratkan ketulusan dan sedikit rasa ingin tahu.

"Jangan... jangan lihat ke sini!" serunya, suara serak dan pelan. Wanita itu menunduk, berbisik, "Aku tak terlihat baik sekarang."

Sebenarnya, wanita itu bukan takut wajahnya dilihat orang. Justru ia biasa menikmati perasaan memperlihatkan wajah buruknya pada orang lain dan bertanya apakah dia cantik, mengetahui jawaban apapun bisa menjadi alasan baginya untuk menghancurkan mereka. Tapi kali ini, anehnya, dia tak ingin Lia Ruhani melihat wajah itu. Dia tak ingin.

Lia mengerjap, berhenti mendekat. Sebagai anak yang patuh, ia mengangguk pelan. "Oh," gumamnya pelan. Pikirannya berkelana sejenak, sebelum dengan senyum kecil ia berkata, "Ah, Kakak, apa Kakak sedang membuat wajah lucu?"

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang