Nara, gadis berusia 17 tahun yang duduk di kelas 11 SMA, dikenal sebagai sosok yang ceria di kalangan teman-temannya. Senyum hangat dan tawa lepasnya membuatnya mudah disukai. Namun, di balik keceriaannya, ada sisi misterius yang jarang dipahami orang lain.
Tak ada yang tahu bahwa senyum Nara hanyalah topeng. Di dalam hatinya, ada banyak luka yang ia simpan rapat-rapat. Teman-temannya mungkin melihatnya sebagai gadis yang bahagia, tapi Nara tahu betapa sulitnya bertahan di dalam rumah yang penuh dengan pertengkaran dan ketidakpedulian. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, bagi Nara hanyalah tempat kembali yang selalu mengingatkannya akan rasa sakit.
Setiap hari, ia berusaha menutupi kesedihan itu dengan keceriaan. Ia takut menunjukkan sisi rapuhnya pada orang lain, khawatir bahwa mereka akan meninggalkannya jika mereka tahu kenyataan hidupnya. Hanya dirinya yang tahu apa yang benar-benar ia rasakan di balik setiap senyuman dan tawa itu.
Namun, di tengah semua ini, Nara masih mencari arti bahagia. Meski hatinya penuh luka, ia terus berharap suatu hari nanti bisa merasakan kedamaian yang selama ini ia impikan.
Pagi ini, seperti biasa, Nara tiba di kelas lebih awal. Ia duduk bersama teman-temannya, ikut tertawa dalam obrolan ringan. Nara memang dikenal selalu ceria, dan itu yang membuat teman-temannya betah berada di sekitarnya.
"Eh, Nara. Lu denger gak sih tentang kakak kelas kita yang namanya Desman Avandi?" tanya salah satu temannya penuh semangat.
Nara mengangkat bahu, tampak tak tertarik. "Gua mah kagak tahu, kagak penting juga."
Temannya mendengus, kesal karena reaksi Nara yang begitu datar. "Iya sih, buat lu mungkin kagak penting. Tapi dia itu cowok paling tampan di SMA ini, tau gak!"
"Ya terserah lu aja, lah. Gue gak peduli sama yang beginian," balas Nara, sedikit tertawa. Bagi Nara, mengidolakan sosok yang bahkan tidak dekat dengannya terasa tidak penting. Di balik senyum santainya, ada banyak hal yang perlu ia pikirkan, dan masalah rumah jauh lebih besar dari sekadar siapa yang paling tampan di sekolah.
Teman-temannya hanya geleng-geleng melihat Nara yang sama sekali tak terpengaruh. Seperti biasa, Nara menutupi semua yang ia rasakan dengan topeng ceria, dan tak ada yang pernah curiga bahwa gadis ceria ini menyimpan banyak hal yang tak pernah ia ceritakan
"Tapi gua denger-denger, katanya Kak Desman itu banyak banget nolak cewek yang nyatain perasaan sama dia," sambung temannya dengan nada penuh rasa penasaran. "Bahkan Astrid aja—cewek paling semok di sekolah ini, tau gak—ditolak sama dia. Maksudnya gimana coba?"
Nara hanya tertawa kecil sambil menatap temannya yang begitu heboh. "Ya mungkin aja Kak Desman punya selera sendiri, kali. Lagian, apa urusannya gua sama cowok itu?"
Temannya memutar mata, seolah tak percaya Nara bisa setenang itu. "Ih, kalau aja lu tahu gimana pesonanya Kak Desman. Serius, senyumnya itu bikin cewek-cewek di sini susah tidur."
Nara mengangkat bahu, memasang ekspresi tak peduli, meski sebenarnya cukup penasaran juga dengan sosok yang dibicarakan temannya. "Ya udahlah, dia juga gak kenal gua, dan gua juga gak kenal dia. Ngapain juga gue mikirin yang gak penting gitu."
Di balik sikap cueknya, Nara merasa aneh mendengar soal Desman yang disebut begitu sempurna. Di antara semua topik pembicaraan pagi ini, tak disangka nama itu terus terlintas di pikirannya, seolah memberi tanda bahwa mungkin suatu saat ia akan mendengar atau melihat langsung seperti apa sosok yang diidolakan banyak orang itu.
"Woi, ada Pak Josep woi!" teriak salah satu siswa laki-laki dari ujung kelas.
Sekejap, suasana kelas yang tadinya riuh langsung berubah. Semua siswa bergegas menuju tempat duduk mereka masing-masing. Ada yang duduk dengan tergesa-gesa, bahkan ada yang sampai melompat ke kursinya. Beberapa teman Nara yang tadi asyik mengobrol dengannya langsung berhamburan ke bangkunya sendiri, takut ketahuan belum siap untuk pelajaran pertama.
Nara hanya menghela napas, berusaha menahan tawa melihat teman-temannya yang kelabakan. Ia sendiri sudah duduk manis di tempatnya, berlagak santai seperti biasa. Baginya, kepanikan yang terjadi setiap kali Pak Josep datang itu sudah seperti rutinitas pagi yang tak pernah berubah.
Pak Josep, guru matematika yang terkenal tegas, melangkah masuk dengan ekspresi serius seperti biasa. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, memastikan setiap siswa sudah di tempatnya dan siap memulai pelajaran.
"Selamat pagi, anak-anak," sapanya dengan nada yang datar namun berwibawa.
"Selamat pagi, Pak," jawab seluruh kelas serempak.
Nara mencuri pandang ke arah teman-temannya yang masih mencoba merapikan buku atau menyembunyikan cemilan yang tadi mereka bawa. Ia tersenyum kecil, merasa lucu dengan kebiasaan teman-temannya yang selalu tertangkap basah oleh Pak Josep. Di balik keceriaan dan ketidaktertarikannya pada hal-hal yang remeh, Nara tetap merasakan kenyamanan dalam suasana sekolahnya yang hidup—sebuah pelarian singkat dari hiruk-pikuk kehidupannya di rumah.
"Baiklah, karena ada rapat penting, Bapak hanya punya waktu setengah jam," kata Pak Josep sambil melirik arlojinya. "Jadi, Bapak cuma minta kalian kumpulkan PR yang kemarin."
Begitu mendengar instruksi itu, semua siswa segera beranjak dari kursi masing-masing, sibuk mengeluarkan buku PR mereka dari dalam tas. Suara kertas yang berkeresek dan obrolan kecil terdengar saat mereka bersiap-siap. Namun, di antara semua kesibukan itu, Nara tetap duduk diam di tempatnya.
Tugas pekerjaan rumah adalah kemewahan yang sulit ia lakukan. Setiap kali ia tiba di rumah, waktu dan energinya habis terkuras untuk menghadapi konflik yang terjadi di keluarganya. Rumah, bagi Nara, bukanlah tempat untuk belajar atau tenang, melainkan tempat di mana ia harus berperang dengan realita yang begitu keras.
Pak Josep mulai berjalan ke tiap meja, mengumpulkan buku-buku PR yang ditumpuk oleh para siswa. Ia mendekat ke arah Nara, pandangannya berhenti sejenak saat melihat bangkunya yang kosong dari tumpukan buku.
"Nara, PR kamu mana?" tanyanya dengan nada datar namun tegas.
"Maaf, Pak... saya... belum sempat ngerjain." jawab Nara dengan santai.
Pak Josep menatap Nara dengan sorot mata tajam, ekspresinya mencerminkan ketidakpuasan yang nyata. "Nara, kamu ini gimana sih!?" suaranya sedikit meninggi, membuat beberapa siswa lain menoleh. "Tiap ada PR, kamu nggak pernah ngerjain! Kamu sekolah buat apa, sih!?"
Nara terdiam, menahan napas sejenak sambil menunduk. Kata-kata Pak Josep terasa menohok, tapi ia tidak bisa mengungkapkan alasan sebenarnya. Ia ingin menjelaskan bahwa setiap pulang ke rumah, semua energinya terkuras untuk menghadapi masalah keluarga yang tak ada habisnya. Namun, ia tahu, tidak semua orang akan memahami apa yang terjadi di balik keceriaan yang ia tunjukkan di sekolah.
Melihat Nara yang hanya diam dan menunduk, Pak Josep tiba-tiba membentak, suaranya terdengar menggema di seluruh kelas.
"Keluar kamu dari kelas ini juga sekarang!" perintahnya tegas, membuat suasana kelas mendadak sunyi.
Semua mata tertuju pada Nara, beberapa teman menatap dengan rasa kasihan, sementara yang lain terlihat kaget. Nara menelan ludah, berusaha menenangkan diri meskipun hatinya terasa hancur. Ia tahu dirinya salah, tapi tak ada yang tahu alasan di balik semua itu.
"Baik Pak" ucap Nara.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESMAN AVANDI
Non-FictionNara capek Tapi Nara benci Desman Nara iri dengan kehidupan Desman Nara benci dengan kehidupan Desman yang penuh dengan keluarga harmonis Nara benci dan iri melihat Desman yang gak pernah ditinggal teman-teman Desman Nara nggak mau jauh dari D...