Ketika Nara meninggalkan kelas, Pak Josep menatap pintu yang tertutup rapat, lalu berbalik ke arah kelas. Dengan nada yang lebih tegas, ia memulai ceramahnya.
"Dengar baik-baik, anak-anak," kata Pak Josep, suaranya penuh penekanan. "Bapak nggak suka sikap siswa yang seenaknya aja nggak ngerjain PR, atau malah kabur dari tanggung jawabnya. Kalian itu di sini untuk belajar, bukan buat cari alasan."
Seluruh kelas menjadi sunyi, semua mata tertuju pada Pak Josep yang berbicara dengan nada serius. "Sekolah itu tempat untuk kalian bertumbuh. Masalah pribadi, masalah keluarga—semuanya nggak bisa jadi alasan buat kalian menyepelekan kewajiban. Kalau ada yang nggak bisa tanggung jawab, lantas apa gunanya kalian ada di sini?"
Suasana kelas terasa berat. Beberapa siswa mulai menghindari tatapan Pak Josep, sementara yang lainnya tetap diam, menyimak dengan serius.
"Kalian punya kesempatan yang nggak semua orang punya. Jadi, hargai itu. Jangan jadi siswa yang cuma bisa mengandalkan alasan dan melewatkan tanggung jawab, paham?" lanjut Pak Josep.
"Paham Pak!" seru semua siswa.
--
Sementara di sisi lain, Nara yang keluar kelas berjalan dengan langkah linglung, kebingungan mau lari ke mana. Semua terasa begitu kosong dan berat di hatinya."Apa gue mending ke kantin aja ya?" pikirnya, tapi kemudian ia langsung berpikir dua kali. "Ah, nggak mungkin. Pulang sekolah nanti aja jam 03.00 sore, sementara duit yang gue bawa cuman Rp5.000, itu pun nemu di jalan."
Ia terdiam sejenak, menatap uang receh di tangannya dengan tatapan kosong. Tiba-tiba, ia tertawa kecil, suara tawa yang lebih mirip ke cemoohan pada dirinya sendiri. Tanpa sadar, tawa itu terdengar aneh, seperti orang gila yang tertawa tanpa alasan yang jelas.
"Gini banget hidup gue ya ampun..." ujarnya pada dirinya sendiri dengan lirikan sinis. Betapa nasibnya terasa begitu jauh dari impian yang dimilikinya dulu.
Dengan langkah berat, Nara berjalan menyusuri lorong sekolah yang sunyi. Beberapa siswa yang lewat sekilas menatapnya, tapi Nara tak peduli. Ia merasa dunia ini terlalu jauh dan terkadang, seperti hidup dalam bayangan.
Saat itu juga, Nara yang santai berjalan di koridor sekolah tak menyadari jika ada sosok pria yang berjalan di sampingnya, mengikuti kecepatannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba, Nara merasakan ada seseorang yang berjalan di sebelahnya. Secara spontan, ia melirik sekilas ke arah pria tersebut. Dalam hatinya, ia mengernyit, "Ngapain nih cowok ngikutin gue segala?"
Secara tak sadar, langkahnya mulai melambat seiring rasa kesal yang muncul. Dengan marah, ia menatap pria tersebut yang masih berjalan di sampingnya. Namun, pria itu justru menoleh ke arahnya dan tersenyum. Senyuman yang begitu tulus dan hangat, seolah bisa menembus dinding dingin yang selama ini dibangun Nara.
Nara terkejut. Senyuman itu membuat dadanya sedikit berdegup. Rasanya hangat, seperti ada sesuatu yang menjalar ke dalam hatinya, sesuatu yang ia tidak mengerti. Tapi seketika, ia merasa canggung dan buru-buru membuang muka, berusaha menutupi perasaan yang tiba-tiba muncul.
Ia melanjutkan langkahnya dengan cepat, berusaha menghindari tatapan pria tersebut, meskipun rasanya sulit untuk tidak memikirkan senyum itu.
Namun, pria itu malah ikut berjalan sesuai dengan kecepatan Nara. Melihat itu, Nara mengernyit kesal, merasa terganggu. Tanpa ragu, ia segera berhenti berjalan dan menghadapi pria tersebut.
"Lo ngapain sih ngikutin gue?" tegurnya dengan wajah kesal, suara Nara sedikit meninggi.
Pria itu tampak terkejut dengan sikap Nara yang tiba-tiba begitu tegas. Ia terkekeh pelan, lalu menjawab dengan suara lembut, "Maaf ya. Kamu yang namanya Nara kan?"
Nara mengangkat kedua alisnya, bingung. Di mana dia bisa tahu namanya? Sedangkan mereka berdua saja belum pernah bertemu.
"Iya, gue Nara," jawab Nara, mencoba mengontrol ekspresi wajahnya. "Lo siapa? Kok bisa kenal gue?" tanyanya kembali, suara mulai terdengar lebih santai meskipun rasa penasaran masih ada.
Pria itu mengulurkan tangannya dengan senyuman, "Nama saya Desman Avandi. Panggil saja Andi atau bisa Desman."
Mata Nara terbelalak begitu mendengar nama itu. Nama yang selama ini sering terdengar di sekolah, diucapkan dengan kagum oleh banyak teman. Desman Avandi—pria yang dikenal sebagai cowok paling tampan, popular, dan sepertinya tidak pernah kekurangan perhatian.
Nara merasa sedikit bingung, namun mencoba tetap tenang. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya mengapa pria seperti Desman Avandi bisa mendekatinya.
Melihat Nara tidak menjabat tangannya, Desman sedikit merasa kecewa. Ia menarik kembali tangannya dengan perlahan dan hanya tersenyum tipis pada Nara, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesalnya.
"Kamu kenapa, kok di luar? Bukannya ini jam masuk pelajaran pertama ya?" tanya Desman, berusaha mengalihkan suasana yang canggung.
Nara menyipitkan matanya, menatap Desman dengan dingin. "Bukan urusan lo!" jawabnya tegas, suara Nara terdengar tajam seperti ingin memutus segala percakapan.
Tanpa menunggu respon lagi, Nara berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Desman. Langkahnya cepat, seolah ingin menghindari segala bentuk perhatian lebih.
Desman hanya berdiri diam, menatap punggung Nara yang semakin menjauh. Ada rasa kecewa dan kebingungan yang muncul di hatinya. Dia tidak mengerti apa yang membuat Nara begitu tertutup dan dingin. Tapi meskipun begitu, senyuman itu tak kunjung menghilang dari wajahnya, entah karena ia mencoba tetap sabar atau karena ia tahu, bahwa ia masih ingin mengenal Nara lebih jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESMAN AVANDI
Non-FictionNara capek Tapi Nara benci Desman Nara iri dengan kehidupan Desman Nara benci dengan kehidupan Desman yang penuh dengan keluarga harmonis Nara benci dan iri melihat Desman yang gak pernah ditinggal teman-teman Desman Nara nggak mau jauh dari D...