"Kak, apa-apaan sih ini? Katanya Lo bakalan nolak? Terus kenapa pembicaraan keluarga di luar sana malah lanjut sampe jenjang pernikahan sih?"
Aku memandang wajah adikku-Ibel-dengan raut putus asa. Bukan cuma dia yang nggak terima, tapi aku juga nggak terima sama keputusan keluarga. "Kakak nggak tau harus apa lagi dek. Udah capek kakak bujuk Ibu dan Ayah tapi mereka nggak mau dengar? Kakak harus apa lagi?"
Ibel berlutut di kakiku. Melihat hal itu membuatku tak kuasa menahan posisiku yang berdiri jadi ikut meluruh. Memeluknya dengan erat. "Maaf dek," lirihku seraya mengusap surat rambut adikku.
"Daffa itu pacarku kak, kami saling cinta. Daffa mau nikah sama aku bukan Kakak. Tapi kenapa sih orang tua kita masih percaya mitos nggak jelas begitu kak, kenapa kak? Kenapa harus Kakak yang nikah sama Daffa?"
Aku semakin tergugu melihat adikku menangis dan meraung dalam pelukanku. Sakit ia rasakan, aku tau bagaimana perihnya. Akibat orang tua kami yang masih percaya tahayul dan mitos bahwa seorang adik tidak boleh menikah lebih dulu dari kakaknya. Maka Daffa yang datang melamar Ibel malah di suruh untuk menikahiku.
Kami semua menentang keinginan orangtuaku, bahkan orang tua Daffa pun datang membujuk tapi Ibu dan Bapak bersikeras tidak mau menerima Daffa sebagai calon suami Ibel. Daffa harus menikahiku. Itu sudah keputusan final dari Bapak dan Ibu.
Aku, Ibel dan Daffa bingung. Kami bertiga putus asa akan permintaan orangtuaku yang tak masuk akal, hanya karena sebuah mitos bahwa aku akan menjadi perawan tua jika di langkahi menikah oleh adikku.
Sebenarnya aku menyesali keadaan saat ini, dimana aku belum punya kekasih. Bahkan orang yang ku suka pun belum ada, aku hanya fokus pada pekerjaanku sebagai guru SD. Sangat menyesal tidak mencoba untuk menjalin hubungan dengan pria manapun, sehingga harus terjadi hal memilukan seperti sekarang ini.
Kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Bapak dan Ibu tidak mau mengubah keputusannya. Dan aku rasa Daffa pun sudah lelah, sehingga membiarkan orang tuanya datang lagi untuk melamar diriku bukan adikku.Tapi di balik itu semua, hanya aku dan Daffa yang tau kesepakatan yang kami buat secara diam-diam di belakang semua orang. Hanya ini yang bisa ku lakukan untuk adikku. Agar kami bertiga tidak ada yang tersakiti.
Suara gelas jatuh menyadarkanku dari lamunan. "Sorry, tanganku licin," kata Daffa mengangkat tangannya yang penuh busa sabun.
Aku menghela napas lelah. "Fyi, udah gelas ke-5 yang pecah minggu ini," kataku padanya.
"Kakak aja yang nyuci gih, kasian Mas Daffa, 'kan baru kali ini belajar nyuci gitu."
Aku berdecak dan memutar bola mata kesal. Adikku sudah pasti membela pria tercintanya. Bahkan aku bisa melihat matanya yang bersinar terang ketika menatap Daffa. Iyuhh geli banget.
"Yaudah sih Daf, biar gue aja. Lo temenin Bumil gih," kataku berjalan menghampiri Daffa yang berdiri di wastafel. Menyuruhnya menyingkir dan duduk saja menemani Ibel yang sedang mengandung.
Aku melanjutkan pekerjaan Daffa, menyuci piring bekas makan kami. Sesekali aku memperhatikan aktivitas pasutri di sofa itu. Senyumku terbit perlahan. Akhirnya mereka bisa bahagia.
Tadi sekelebat ingatan masa lalu terlintas di pikiranku. Dulu aku hampir saja menikah dengan Daffa, pacar adikku. Namun hal itu berhasil aku dan Daffa gagalkan. Kami berdua nekat melakukan hal yang di luar ekspektasi semua orang.
Kami berdua setuju menikah. Tapi saat hari pernikahan tiba, aku dan Ibel bertukar posisi. Aku kabur dari rumah, pergi ke luar negeri dengan tiket dan segala keperluan yang sudah di atur sesempurna mungkin dengan Daffa. Hingga akhirnya, Ibel-lah yang harus menggantikan posisiku sebagai pengantin Daffa. Demi menutupi rasa malu dan martabat keluarga. Sebesar itulah tekad kami demi mencapai kebahagiaan masing-masing, dan lihat hasilnya sekarang. Kami tidak menyesali rencana gila kami dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
Short StoryHanya berisi cerita random yang terlintas dalam pikiran author. Silahkan di baca sebagai selingan dan mengisi sedikit waktu luang kalian semua <3 Start : 24 Oktober 2024 Finish : -