Plan To Divorce

3.7K 159 7
                                        

Tandai typo ya
Happy Reading
***

Aku mengetuk jariku di meja dengan gerakan pelan. Membaca surat di tanganku dengan seksama.

"Oke, aku setuju sama point perjanjian yang tertera," putusku. Dengan mempertahankan sikap arogan yang berusaha ku tampakkan, aku memandang pria yang lebih tua lima tahun dariku. Terlihat senyuman puas akan jawaban yang ku berikan.

Mas Aji, begitu aku memanggilnya. Dia adalah suamiku. "Aku rasa kamu bisa tanda tangan sekarang," ujarnya seraya mengeluarkan pulpen dari saku jasnya. Mendorong benda itu mendekat ke arahku.

"Setelah aku setujui semua syarat dari kamu, maka kita cerai kan?" Tanyaku sekali lagi. Memastikan bahwa pria ini tidak menipuku.

"Iya, sesuai sama yang tertera di surat perjanjian itu," jawabnya mantap.

Maka dengan menarik napas panjang, aku menandatangani surat perjanjian yang ku pegang sejak tadi. Menyerahkan surat itu kembali pada mas Aji. "Aku minta salinan suratnya juga," pintaku padanya.

Mas Aji hanya mengangguk. Ia memasukan surat tadi kedalam map cokelat. Kemudian beranjak dari sofa ruang tamu menuju ruang kerjanya. Aku menyandarkan tubuhku ke sofa, cukup lelah dengan drama hari ini.

Aku dan mas Aji menikah dua tahun lalu karena perjodohan antar keluarga. Papa adalah bawahan kakek Mas Aji, Papa yang begitu dipercaya oleh kakek mendapat perhatian lebih dalam keluarga konglomerat mereka. Sebenarnya perjodohan ini dulunya di atur antara Papa dan anak perempuan kakek tapi ternyata tidak berhasil karena Papa sudah punya perempuan yang ia cintai saat itu yaitu Mama. Aku pikir rencana perjodohan itu sudah berakhir, tapi malah berlanjut ketika kakek tau Papa punya anak perempuan dan kakek punya cucu laki-laki.

Aku nggak menyalahkan orang tuaku ataupun kakek terkait hal ini. Karena mereka menyerahkan keputusan finalnya padaku dan mas Aji. Lalu kenapa kami tetap menikah? Ya karena aku dan mas Aji setuju buat menikah. Loh bukannya nggak mau di jodohin? Iya tau kok kalian bingung, tapi saat itu aku bener-bener terdesak. Nggak punya pilihan selain mengiyakan perjodohan itu, karena buktinya aku bisa lulus kuliah S1 dan Mama bisa sembuh dari kanker payudaranya. Nah sudah cukup jelaskan kenapa aku dan mas Aji menikah, karena kami sama-sama di untungkan dalam ikatan pernikahan ini.

Aku dapat uang dan bisa memperbaiki ekonomi keluargaku yang kurang stabil. Dan mas Aji bisa menutupi aibnya dengan menikahi aku.

Lamunanku buyar ketika mendengar suara bel apartemen yang cukup mengganggu. Orang di luar sana seperti tidak sabar menunggu untuk di bukakan pintu. Dengan langkah ogah-ogahan aku berjalan ke arah pintu apartemen. Membukanya dan melihat siapa yang bertamu di jam 10 malam ini.

"Lama banget sih. Aji ada di dalam kan?" Tanya sang tamu dengan nada kurang ajarnya. Aku memutar bola mata malas, membiarkan si tamu kurang ajar ini menerobos masuk dan mencari si Tuan rumah yang ingin ditemuinya.

"Bikinin minum dong. Gue haus banget nih, bawa keruangan Aji ya," suruhnya tak tau malu kemudian berbalik kembali menuju ruang kerja Mas Aji.

Aku menghela napas, berusaha sabar. Ingin rasanya melempar vas bunga di atas rak sepatu tepat di depanku saat ini ke wajah putih si tamu menyebalkan itu. Di kira aku pembantu apa, seenak jidatnya nyuruh aku ini itu. Yang punya rumah juga bukan dia, malah aku lebih berhak disini. Dasar wong gendeng.

Berusaha meredam emosi yang menumpuk di dada, aku berjalan ke dapur apartemen. Ingin membuat minuman untuk si tamu menyebalkan tadi. Saat mengaduk jus di depanku, terbersit ingin memasukan racun ke dalamnya. Biar mati sekalian mereka di dalam sana. Namun pikiran itu ku tepis menjauh, aku masih takut masuk penjara. Nanti orang tuaku malu anaknya masuk tv karena membunuh orang.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang