Mistake

3.1K 116 10
                                    

Tanganku bergetar hebat saat melihat dua garis muncul pada testpack. Badanku luruh, kakiku lemas karena takut. Sungguh ini semua di luar prediksiku. Bayangan kecewa di wajah kedua orangtuaku, membuat tangisku semakin kencang. Tidak, ini pasti ada kesalahan.

Aku bangkit, dan mengambil testpack lain. Memeriksa ketiga tespack berbeda yang ku jejerkan di atas wastafel kamar mandi. Ketiganya menunjukkan hasil yang sama, positif hamil. Betapa naifnya diriku, betapa bodohnya aku.

"Intan, kamu sudah bangun?" Samar terdengar suara Mama di luar kamar. Aku takut, saat ini pikiranku semakin kacau ketika mendengar suara wanita yang melahirkanku itu. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku jujur? Atau menyembunyikan dan menghilangkan janin ini? Aku bingung.

"Intan!" lagi Mama memanggil namaku. "Belum bangun ya?" tanyanya.

Aku bergeming. Enggan menjawab, biar saja di kira aku belum bangun. Karena saat ini, aku belum siap bertemu Mama.

Beberapa menit menunggu, akhirnya tak ada suara panggilan ataupun ketukan pintu lagi. Aku mengambil semua testpack ini, kemudian keluar dari kamar mandi. Dengan terburu-buru aku mencari pouch make up. Memasukkan ke empat testpack tadi ke dalamnya.

Setelahnya aku membersihkan diri dan bersiap berangkat ke kampus. Aku meyakinkan diriku sendiri untuk sesaat saja menyimpan rahasia ini dari orang tuaku. Nanti saat aku sudah yakin dan mendapat solusi akan hal ini, baru aku jujur.

Aku keluar dari kamar, berusaha memasang ekspresi biasa saja. Karena Mama orang yang cukup peka pada perubahan di dalam rumah, aku tidak ingin ada kecurigaan apapun dulu. Sebelum sampai di anak tangga terakhir, aku menguatkan diriku. Menarik napas panjang kemudian menghembuskannya, memberi semangat untuk diriku sendiri. Setelah baru aku melangkah menghampiri Mama dan Papa yang sedang sarapan.

"Pagi Ma, Pa," sapaku seperti biasanya.

"Pagi sayang. Loh udah mau berangkat? Tadi Mama kira belum bangun," ucap Mama saat melihat penampilanku yang sudah rapi dan siap ke kampus.

"Mungkin aku lagi mandi, soalnya aku juga nggak denger suara Mama," bohongku.

"Kamu berangkat sendiri atau mau bareng Papa?" Tanya Papa.

Aku mengulas senyum. "Sendiri aja Pa, soalnya sebelum ke kampus mau mampir dulu ke tempat lain," jawabku.

Papa mengangguk, kemudian melanjutkan sarapannya. Arah kantor Papa memang sejalur dengan kampusku, biasanya aku berangkat bersamanya. Tapi kali ini tidak dulu, aku takut semakin gelisah nantinya kalau berada dalam satu mobil dengan Papa.

"Intan, kamu mau bawa bekal?"

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Mama. "Nanti makan di kantin kampus aja, Ma."

Tidak ada percakapan lagi. Kami sibuk menikmati sarapan kami, syukurlah karena aku tidak perlu terus-terusan berpikir akan kalimat yang ingin ku sampaikan. Soalnya sekarang telapak tanganku sudah berkeringat.

Aku bukan orang suka berbohong. Jadi sekali berbohong biasanya akan ketahuan, kegelisahanku pasti terlihat. Maka dari itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk tenang saat ini.

Makanan yang masuk ke dalam mulutku rasanya hambar, aku ingin muntah. Namun aku menahannya. Satu suap makanan saja susah payah ku telan.

"Nggak enak ya masakan Mama?"

Aku terkejut mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Mama. Saking fokusnya aku pada usaha menelan makanan, sampai melupakan bahwa orang tuaku bisa saja melihat tingkahku.

"Enak kok Ma, cuma Intan aja yang lagi nggak mood," jawabku cepat disertai senyuman yang terbit di bibirku.

"Kamu ada masalah?" Tanya Papa ikut menimpali.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang