Plan To Divorce (End)

2.1K 103 5
                                    

Tandai typo ya
Happy reading
***

Aku merasa ada yang salah dengan mas Aji belakangan ini. Entah apa yang ia rencanakan tapi bagiku ini aneh. Perubahan drastis dari dirinya membuatku kebingungan. Sudah sebulan sejak terakhir kali Bima datang ke apartemen, namun hingga detik ini manusia itu belum menginjakkan kaki lagi di apartemen ini.

Apa mereka bertemu di luar? Di kantor mas Aji mungkin? Aku tidak tau. Tapi satu hal yang ku tahu kalau mas Aji melarang Bima datang ke apartemen ini. Itu satu dari banyaknya sikap mas Aji yang ku anggap di luar kebiasaannya.

"Runa, minta tolong pasangkan dasiku."

Aku memutar tubuh ke arah suara. Mas Aji berdiri di depan pintu kamarnya dengan memegang dasi di tangan kanannya. Aku beranjak dari dudukku, meninggalkan ruang santai dan berjalan ke arahnya.

"Biasanya juga pasang sendiri," dumelku dalam langkah menuju padanya.

Mas Aji menyerahkan dasinya padaku begitu aku tiba di hadapannya. Segera aku melakukan permintaannya, walau tidak ikhlas kegiatan menontonku terganggu tadi.

"Mas, kita kapan cerainya sih? Kan aku udah mengikuti semua kesepakatan dalam surat, kok sampe sekarang belum ada kemajuan tentang perceraian kita?" Tanyaku.

Tidak pernah sehari pun aku lupakan tentang rencana perceraian kami. Aku juga nurut kok sama mas Aji, sesuai sama setiap poin kesepakatan dalam surat yang sudah kami tanda tangani. Aku ingin secepatnya berpisah, agar bisa menikmati hidup bebas walau statusku akan berubah menjadi janda.

Ingin kembali menata hati, menyingkirkan mas Aji yang sudah duduk di dalamnya. Aku mencintai mas Aji, sebenarnya setahun ini aku mulai sadar akan perasaan itu. Dua tahun pernikahan kami, sangat tidak mungkin jika aku tidak jatuh cinta padanya. Mas Aji baik, dia perhatian. Tidak pernah sekalipun dia meninggikan suara padaku, apalagi sampai main tangan. Menurutku dia masuk dalam daftar suami idaman, karena itulah perasaanku terlena akan semua perhatian dan kebaikannya. Emang dasar hatiku aja yang lemah, di baikin dikit langsung cair. Tapi aku cukup bisa menahan diri selama ini, membuat agar perasaanku tidak mudah terbaca.

Kalau lebih lama lagi, mungkin aku nggak bisa. Perasaanku bisa saja terlihat, apalagi aku mengetahui mas Aji tidak akan pernah suka padaku. Aku takut, perasaan ini akan meledak suatu saat nanti karena tidak tahan harus tersakiti terus. Jadi aku mengajukan perceraian dua bulan lalu, dan mas Aji setuju akan usulanku dengan memberikan beberapa syarat di atas kertas.

Aku rasa sudah cukup dua bulan ini semua syarat terpenuhi, jadi jika bisa lebih cepat lebih baik lagi kami bercerai.

"Masih belum semuanya terpenuhi Runa," jawabnya.

Aku berdecak, "Seingatku udah semua ya mas, coba deh baca suratnya. Padahal kamu yang bikin loh, masa nggak inget isinya apa aja."

"Tentu aku ingat, makanya aku bilang belum terpenuhi semua Runa," jawabnya. Ia merapikan sedikit letak dasinya begitu aku selesai memasangkannya. "Makasih," ucapnya atas bantuanku.

Aku mengejar langkahnya yang kembali masuk ke dalam kamar. "Terus?" Tanyaku memastikan. Pokoknya aku mau cerai, nggak mau lagi akting sok kuat kalau lihat si makhluk jadi-jadian nempel ke mas Aji. Bikin mata dan hatiku sakit aja.

"Berarti kita belum boleh cerai Runa. Gitu aja nanya lagi," jawabnya santai. Ia bahkan tertawa geli. Apa yang lucu? Mukaku? Atau pertanyaanku? Perasaan nggak ada yang lucu bagiku.

"Nggak bisa. Aku yakin kok, udah semua terpenuhi." Tentu saja aku nggak mau kalah, kok bisa-bisanya dia bilang belum terpenuhi semua.

"Coba sebutin semua poin persyaratannya," pintanya sambil menatapku. Ia pikir aku tidak bisa menyebutkan semuanya.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang