⋆ 9: Unraveled Skies ⋆

27 6 1
                                    

Gentala bingung melihat dua temannya ini. Kalau lagi ngumpul, pasti ada yang kurang satu. Gentala dan Javier hampir tidak pernah absen. Kalau Hiro datang, Ricky pasti tidak akan bergabung. Sebaliknya, jika ada Ricky, Hiro pasti menghilang.

Kali ini, Gentala mencoba mengumpulkan semua temannya di gedung olahraga, tepatnya di Aquatic Center karena sedang kosong, tidak ada jadwal renang. Di tribun paling depan, sudah ada Javier dan Hiro yang duduk bersama Gentala.

Tak lama, Ricky datang dengan raut wajah datar, melangkah pelan dari arah pintu.

"Ada apa sih sebenarnya?" tanya Gentala, memandang Ricky yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Tanya tuh temen lo," ujar Ricky sambil menunjuk Hiro dengan dagunya.

Javier, yang sedari tadi duduk, akhirnya berdiri. "Kita bukan anak kecil lagi, bro. Kalau ada masalah, selesaikan baik-baik. Jadi, apa sebenarnya yang kalian permasalahin?"

Ricky mendengus pelan. "Hiro yang nyebarin berita itu. Kalian tahu kan kalau gue dan Mirela tinggal serumah itu hal yang sensitif buat gue, kalau bisa gak ada orang lain yang tahu. Gue percaya sama kalian, termasuk Hiro. Tapi dia malah jadi penghianat. Gue nggak akan maafin dia sampai gue habisin sekali lagi."

Hiro berdiri, melangkah mendekati Ricky dengan santai. "Bro, gue cuma mau kasih ancaman ke Mirela. Lo harusnya marah ke Mirela, bukan ke gue."

"Lo yang salah!" Javier tiba-tiba menyela, membuat semua orang menoleh ke arahnya dan tatapan Javier tertuju pada Hiro.

"Lo pakai Ricky buat lawan Mirela? Bro, itu kotor banget!" ujar Javier tegas.

Gentala memejamkan matanya sejenak, merasa pusing dengan situasi yang makin kacau. Niat awalnya menyatukan teman-temannya malah berubah jadi medan konflik.

"Kenapa lo yang sewot?" Hiro balas menantang Javier.

"Lo bego! Kalau punya masalah sama Mirela, ya selesaikan sama dia. Nggak perlu bawa-bawa Ricky buat lo manfaatkan situasi. Apa sih masalah lo sampai segitunya?" Javier tampak makin kesal. Ia sudah muak dengan kelakuan Ricky terhadap Mirela sebelumnya, dan kini Hiro malah memperburuk situasi.

Hiro menyeringai sinis. "Alibi lo tuh cuma pura-pura belain Ricky. Padahal aslinya lo belain Mirela, kan? Gue tahu lo mulai tertarik sama tuh cewek. Gue juga lihat pagi tadi, lo boncengin Mirela. Jadi, siapa yang bego sekarang? Gue atau lo?"

Ricky mengernyit binggung.

"Salah kalau gue tolongin Mirela?" Javier menantang balik.

"Salah besar! Lo ada di pihak Ricky, kan? Kenapa lo malah bantuin Mirela? Nggak konsisten banget lo!" Cibir Hiro.

Kini Javier dan Hiro saling tatap dengan penuh emosi, siap meledak kapan saja.

Ricky tertawa dingin pada akhirnya. "Kalian berdua sama aja."

Javier mengalihkan tatapannya pada Ricky. "Lo juga, Rick. Egois!"

Ricky mengepalkan tangannya. Kesabarannya mulai habis, ia maju ke arah Javier, siap melayangkan pukulan. Namun, Gentala dengan sigap berdiri di depan Javier. Akibatnya Gentala sendiri yang kena pukul hingga ia jatuh tersungkur.

"Anjing! Kenapa jadi Genta yang kena!" Hiro berteriak marah. Niatnya untuk memperbaiki hubungannya dengan Ricky malah berantakan. Melihat Gentala terluka, emosi Hiro memuncak.

"Pukul gue, katanya lo mau ngabisin gue, kan? Gue nggak takut!" tantang Hiro. Tanpa menunggu, Ricky dan Hiro saling melayangkan pukulan.

Gentala bangkit, menyeka darah di hidungnya dengan kasar. Ia baik-baik saja, hanya luka kecil lalu mencoba memisahkan keduanya, tetapi Javier menahannya.

"Udah, Genta. Biarin aja!" kata Javier.

"Jav, ini nggak bisa dibiarkan," balas Gentala. Ia akhirnya mendorong Ricky dan Hiro dengan keras hingga keduanya tercebur ke kolam renang.

Keributan pun selesai seketika. Javier puas melihat aksi Gentala.

"Nice," komentar Javier.

"Anjing lo, Genta! Gue belain lo malah gini!" teriak Hiro dari kolam renang. Seragamnya basah kuyup, begitu juga Ricky yang hanya mendengus kesal.

──★──

Langit mulai gelap saat lampu-lampu di Distrik Akasia menyala, Distrik yang terkenal sebagai kawasan bisnis dan penuh dengan restoran fine dining, bar mewah, dan butik high-end. Di salah satu sudutnya, berdiri sebuah cigar lounge dengan desain klasik-modern. Bangunan dua lantai ini memiliki fasad kaca besar yang memperlihatkan interiornya.

Tak jauh dari cigar lounge, terdapat sebuah pusat perbelanjaan megah yang selalu ramai. Lalu lintas sore menjelang malam itu cukup padat, hiruk-pikuk suara kendaraan mengisi udara.

Hiro berjalan santai bersama Tristan, temannya sejak lama yang sering menjadi partner in crime-nya. Malam itu, wajah Hiro sedikit lebam, sisa dari perkelahian kecil di sekolah, pikirannya juga sedang kusut.

Saat mereka sampai di depan cigar lounge, Hiro melihat sekilas sosok Mirela yang berjalan dari arah berlawanan. Di tangannya ada kantong berisi buku baru, dan langkahnya ringan meski tampak tergesa-gesa.

Tatapan mereka bertemu sejenak, namun Hiro memalingkan wajah lebih dulu, memilih untuk mengabaikannya. Mirela pun sama, masa bodoh seperti biasanya.

Mirela melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan kehadiran Hiro, menaiki bus yang berhenti tak jauh dari sana. Sementara itu, Hiro dan Tristan membuka pintu cigar lounge, tenggelam dalam suasana nyaman yang eksklusif di dalamnya.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Mirela tiba di rumah. Perjalanan yang seharusnya singkat jadi panjang karena macet di pusat kota. Saat membuka pintu, ia mendapati seseorang yang jarang ia temui di rumah ini, Papa Hiro.

"Selamat malam, Om," sapa Mirela sopan.

Laki-laki paruh baya itu mengangkat wajahnya dari ponsel. "Mirela? Kamu tahu Hiro di mana?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Mirela terdiam sejenak. Ia tahu Hiro ada di cigar lounge tadi, tapi ragu untuk memberitahukan, takut sesuatu terjadi dan yang pasti akan menyeret namanya, Mirela sudah lelah jika berurusan dengan Hiro.

"Hiro belum pulang, nomornya juga tidak aktif. Om khawatir terjadi sesuatu dengannya," lanjut pria itu dengan nada yang lebih berat.

Tidak, bukan benar-benar soal kekhawatirannya pada Hiro, tapi karena Hiro dibutuhkan malam ini. Acara bisnis penting, seperti biasa. Papanya sudah memberi tahu Hiro sejak tiga hari yang lalu tepat ketika pulang dari kediaman rumah ini, setelahnya mereka tidak ada komunikasi lagi sampai detik ini.

"Mirela?" suara papa Hiro memanggilnya lagi, menyadarkan Mirela dari lamunannya.

"Atau... mungkin dia pergi dengan Ricky?" lanjutnya.

Mirela menggeleng pelan. Ia belum sempat ke kamar untuk melihat apakah Ricky ada di rumah. Namun, fakta bahwa ia tahu keberadaan Hiro membuat dilema di benaknya. Haruskah ia memberi tahu?

"Tadi saya lihat Hiro masuk cigar lounge di Distrik Akasia."

𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃 to be continued 𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃

THREAD OF DESTINY | 04 LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang