⋆ 6: Crimson Skies ⋆

29 5 2
                                    

Kantin sekolah terasa lengang. Jam makan siang hampir usai, hanya beberapa siswa yang masih duduk santai sambil mengobrol di pojok ruangan. Mirela melangkah menuju barisan makanan self-service, matanya menyisir pilihan menu yang tersisa di sana.

Piringnya mulai terisi. Ia mengambil semangkuk sup krim jamur, ayam panggang, dan salad sayur dengan topping jagung manis serta irisan alpukat, makanannya sudah cukup berwarna. Setelah selesai memilih, ia mencari tempat duduk. Pilihannya jatuh pada meja kosong di sudut ruangan.

Ia mulai menikmati makanannya dalam diam. Suasana damai seperti ini jarang terjadi, apalagi di sekolah sebesar ini.

Namun suasana hatinya yang tenang itu tak bertahan lama. Langkah berat terdengar mendekat, dan tiba-tiba seseorang duduk di depannya tanpa izin, Hiro.

Mirela melirik sekilas tanpa berkata apa-apa. Wajah Hiro menyiratkan tantangan, tetapi ia tetap melanjutkan makannya, seolah cowok itu hanya angin lalu.

Bahkan, Mirela membuka ponselnya, scrolling layar tanpa memedulikan Hiro.

"Gimana?" Suara Hiro akhirnya memecah keheningan.

Mirela mendongak, menaruh kembali ponselnya di atas meja. Tatapan mereka bertemu.

"Maksud lo?" tanyanya datar.

Hiro bersandar di kursi, melipat tangannya. "Makin dibenci Ricky pas dia tahu gosip kalian di base soal tinggal serumah." Sebuah tawa dingin menyusul. "Lo juga jadi tersangka utama yang nyebarin berita itu ke sana."

Sebenarnya Mirela agak terkejut. "Mau gue atau bukan yang nyebarin, Ricky tetep benci gue. Gak ada bedanya." Ucapannya kemudian.

Hiro tampak tidak puas dengan jawaban itu. Ia membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Mirela. "Gue yang sebarin berita itu." Nadanya rendah, tapi penuh ancaman. "Tau kan sekarang? Kalau lo macem-macem sama gue, atau gak nurut, gue buat lo lebih dari ini."

Ucapan itu membuat Mirela berhenti makan. Ia menatap Hiro tajam. "Cuma masalah sepele antara gue sama lo, dan lo tumbalin Ricky? Temen macam apa lo." Suaranya tetap tenang, tapi ada kemarahan yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

Hiro hanya mengangkat bahu santai, senyum tipis penuh ejekan tersungging di bibirnya. "Gue cuma main kartu yang ada di tangan gue. Lo harusnya tau itu."

Mirela menghela napas panjang, matanya tidak lepas dari Hiro. Setelah beberapa detik, ia kembali mengambil sumpitnya, memotong potongan ayam terakhir. "Hati-hati, Hiro. Orang yang suka main kartu bisa kena karmanya sendiri."

──★──

Langit sore yang mulai memerah mengintip dari balik jendela besar di lantai dua rumah itu. Mirela melangkah cepat menyusuri rumahnya. Hanya suara langkahnya yang menggema di sepanjang lantai sampai ia berhenti tepat di depan pintu kamar Ricky.

Ia mengetuk dengan ragu, mencoba menahan emosi yang sudah ia pendam sejak siang tadi. "Ricky?" Panggilnya.

Tidak ada jawaban, lalu ia mengetuk lebih keras. "Ricky, please buka pintunya."

Hening. Kali ini, ia mulai kesal. Mirela mengetuk dengan lebih kuat, nadanya berubah lebih tegas. "Ricky, gue mau ngomong sama lo!"

Namun, tetap tak ada respons. Mirela mencoba membuka pintu itu dan ternyata tidak terkunci. Ia masuk tanpa izin, kalau Ricky marah, Mirela sudah siap. Ada hal penting yang harus ia sampaikan, sesuatu yang tak bisa ditunda lagi.

Sosok Ricky muncul dari arah kamar mandinya, sepertinya memang tidak mendengar ketukan dari tadi. Wajahnya sedikit terkejut melihat Mirela berdiri di depan pintu kamarnya. "Lo ngapain di sini?"tanyanya dingin.

Mirela melangkah masuk, tatapannya tegas. "Ada yang perlu gue kasih tahu ke lo."

Ricky mendengus kesal. "Keluar dari kamar gue!" bentaknya.

Mirela tetap melangkah hingga ia tepat berada di depan cowok itu, ia langsung mengulurkan ponselnya pada Ricky. "Putar rekaman suara itu."

Ricky mengernyit, namun akhirnya mengambil ponsel Mirela. Ia menekan tombol play dan mulai mendengarkan rekaman percakapan Hiro dan Mirela di kantin tadi.

Suara Hiro terdengar jelas dari ponsel, setiap kata yang penuh ancaman dan pengakuan tentang gosip yang ia sebarkan menghantam Ricky seperti tamparan keras. Kemarahannya semakin memuncak seiring rekaman berjalan, terutama saat Hiro terang-terangan mengungkap bahwa ia sengaja memanipulasi situasi antara Ricky dan Mirela.

Ricky mengepalkan tangan, wajahnya memerah. "Shit!"umpatnya penuh emosi.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melempar ponsel Mirela ke lantai dengan kasar. Bunyi retakan terdengar, dan layar ponsel itu pecah. Mirela membeku, menatap ponselnya dengan ekspresi kaget bercampur kesal.

Ricky meraih kunci motornya di atas nakas, lalu berjalan keluar tanpa memedulikan Mirela. Langkahnya berat dan penuh kemarahan, meninggalkan Mirela yang masih menatap ponselnya yang entah masih bisa diselamatkan atau tidak.

"Retak. Sialan!" gumamnya, frustrasi.

──★──

Ruang tamu di rumah Hiro terasa sunyi, hanya suara detak jam yang bisa terdengar jelas karena hanya ia sendirian di rumah ini, tak ada yang ingin dilakukannya, cowok itu hanya meminum air putih dingin di dapur.

Pintu depan rumah Hiro tiba-tiba terbuka, dan langkah berat terdengar. Hiro menghampiri untuk melihat siapa yang datang, lalu tatapannya bertemu dengan Ricky masuk dengan ekspresi marah yang terlihat jelas di wajahnya.

Ricky langsung melangkah mendekat dengan sorot tajamnya. "Ngapain lo bawa-bawa gue ke masalah kalian?" suara Ricky rendah, tapi penuh amarah.

Hiro mengerutkan kening, merasa suasana sudah mulai tegang, "Bro, lo duduk dulu, kita ngobrol-"

Langkahnya makin mendekat sekaligus memotong ucapan Hiro. "Lo buat masalah sendiri sama Mirela, dan gue yang jadi terseret di dalamnya!" Ujar Ricky sambil menunjuk Hiro dengan tangannya sendiri.

Hiro terdiam sejenak, ia mulai paham dengan apa yang sedang Ricky permasalahkan.

"Gue nggak peduli sama masalah lo dan Mirela! Tapi kenapa lo malah jadi penghianat terbesar di antara kita." Teriak Ricky.

"Ky, c'mon! just hear me out first."

Ricky hanya mendengus, lalu tanpa peringatan langsung mendorong dada Hiro dengan keras, membuat Hiro mundur beberapa langkah. "Gue nggak butuh penjelasan lo!" Kata Ricky, dan sebelum Hiro bisa merespon, ia melayangkan pukulannya pada teman dekatnya itu.

Hiro terkejut dan jatuh tersungkur, mulutnya terasa perih. "Ricky, lo gila?" teriak Hiro, memegangi pipinya yang sakit.

Ricky masih menatap Hiro dengan penuh kebencian. "Lo nggak sadar? Lo cuma mikirin diri lo sendiri!"

Hiro mencoba bangkit, namun Ricky menengkeram lehernya kali ini ia. "Mulai sekarang, gue gak butuh temen kayak lo!" kata Ricky dengan nada penuh amarah

Lalu tanpa mengatakan apapun, ia berbalik dan meninggalkan Hiro yang tergeletak di lantai dan terluka.

𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃 to be continued 𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃

THREAD OF DESTINY | 04 LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang