Satu hari sebelum kedua orang tua Mirela berangkat ke Spanyol.
Malam itu, Hiro menerima pesan dari sang papa, memintanya menyusul ke rumah keluarga Skyler. Keluarga tersebut adalah teman dekat keluarga mereka, dan Ricky, putra keluarga itu, adalah teman Hiro meski belakangan ini hubungan mereka tengah renggang.
Dengan terpaksa, Hiro menuruti permintaan itu. Ia tiba di halaman rumah megah bergaya modern lalu memarkir motornya, dan melepaskan helm sebelum melangkah masuk. Ada satu pelayan di rumah ini yang menyambutnya untuk membawa Hiro ke ruang tamu yang luas dan nyaman di tengah rumah.
Papa Hiro bahkan cukup akrab dengan Mirela, putri keluarga itu. Maka tak heran jika waktu itu Hiro memaksa Mirela demi mendapat validasi yang diinginkan sang papa.
“Ma? Pa?” panggil Hiro pelan.
Semua orang di ruangan itu menoleh, termasuk Ricky dan Mirela yang berada di sana.
“Akhirnya Hiro datang juga,” sambut papanya dengan nada antusias, berdiri untuk merangkul putra sulungnya.
Di depan orang lain, papa Hiro selalu memujinya dengan bangga. Namun, di rumah, sikapnya jauh berbeda. Amarah dan kritik yang tiada habisnya membuat Hiro merasa serba salah, apapun yang ia lakukan, seolah tak pernah cukup baik, tak heran jika Hiro menjadi anak pembangkang.
“Wajahmu kenapa, Nak?” tanya bunda Mirela, mendekati Hiro dengan raut khawatir.
Hiro baru teringat bahwa ia belum sempat merawat luka lebam di wajahnya, bekas pukulan Ricky sejak kemarin. Orang tuanya, yang jarang memperhatikannya di rumah, tentu tak menyadarinya.
“Hiro, kamu gak berantem kan?” kali ini mamanya menatap lebih tajam, memeriksa luka di wajah putranya.
Ricky hanya duduk diam tanpa menunjukkan rasa bersalah, seolah melemparkan tanggung jawab kepada Hiro untuk menjelaskan sendiri.
“Enggak, Ma,” jawab Hiro tenang. “Saya cuma kena pukul waktu anak-anak basket ribut di sekolah, kebetulan saya ada di lapangan waktu itu.”
Hiro tak akan pernah menyalahkan Ricky, bahkan jika ia harus menanggung luka yang lebih parah sekalipun.
“Om, Tante, boleh saya minta Mirela bantu obati luka saya?” tanya Hiro pada orang tua Ricky.
Permintaan itu langsung disetujui. Mirela hanya bisa membelalakkan mata, tak menyangka Hiro akan menyeretnya ke situasi ini. Sebelum ia sempat menolak, tangan Hiro sudah menggenggam lengannya, membantunya berdiri dari sofa, lalu membawanya naik ke lantai dua.
Setibanya di sana, Hiro membuka pintu kamar Mirela tanpa permisi dan masuk begitu saja.
“Lo mau ngapain?” seru Mirela, berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut.
Hiro tidak menggubrisnya. Ia melangkah perlahan, mengamati kamar itu, hingga berhenti di depan jendela. Tangannya menyibak tirai, lalu berdiri memandangi langit malam dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaketnya.
“Jadi, ini cara main lo?” ucapnya pelan tanpa menoleh.
Mirela mendesah, mencoba menenangkan emosinya. “Ini bukan cuma tentang gue sama lo, tapi juga Ricky,” jawabnya singkat, sebelum berbalik meninggalkan kamar.
Hiro menatap bayangan Mirela dari jendela yang memantulkan sosoknya di ambang pintu, lalu membuka jendela untuk menghirup udara segar. Ia melangkah ke balkon, di mana dua kursi tertata rapi. Malam itu terasa tenang, dengan langit berhiaskan bulan yang bersinar terang.
Tak lama, Mirela kembali membawa cold pack untuk mengompres luka di wajah Hiro.
“Ini,” katanya dingin, menyerahkan benda itu.
Hiro mengambilnya tanpa sepatah kata, menempelkannya sendiri pada luka lebamnya.
“Lo yang bikin Ricky pukul gue. Gue enggak peduli gimana caranya, lo harus buat gue sama dia balik kayak dulu,” ujar Hiro, nadanya tegas.
Mirela mendengus kesal. “Lo gila? Ricky bahkan benci gue. Mana mungkin gue bisa bujuk dia?”
“Gue enggak mau tau!” tekan Hiro, tatapannya tajam menusuk.
──★──
Hari ini adalah jadwal keberangkatan orang tua Mirela ke Spanyol. Meski pesawat mereka baru berangkat siang, pagi ini mereka masih berada di rumah. Karena itu, Mirela bisa berangkat ke sekolah bersama Ricky dalam satu mobil.
Namun, arah mobil Ricky mulai melenceng dari jalur menuju sekolah dan malah semakin menjauh. Sampai akhirnya, Ricky menepikan mobil di pinggir jalan.
Mirela sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Tanpa perlu banyak bicara, ia menghela napas pasrah sambil melepas seatbelt-nya.
Saat Mirela hendak membuka pintu mobil, Ricky menahannya. "Ponsel lo mana?" tanyanya tegas.
Mirela memilih tidak memperpanjang masalah. Dengan kesal, ia menyerahkan ponsel retaknya kepada Ricky, lalu turun dan membanting pintu mobilnya.
Tanpa basa-basi lagi, mobil Ricky melaju kencang, meninggalkan Mirela sendirian di tepi jalan.
Mirela menoleh ke sekitar. Tempat ini bukan jalan raya yang banyak dilalui kendaraan umum. Halte bus terdekat berjarak sekitar 800 meter, dan ia harus berjalan kaki untuk sampai disana.
Mirela melirik jam yang bertengger di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 06.50. Masih ada 40 menit sebelum jam masuk sekolah, tapi itu pun belum tentu cukup. Belum lagi jalanan ibu kota sering macet, dan jarak dari daerah ini ke sekolahnya masih sangat jauh. Ricky memang sengaja membuatnya kerepotan.
“Sabar!” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri.
“Dua pekan lagi udah ujian. Tinggal pilih kampus yang jauh, biar gue bisa ninggalin rumah.”
Tiba-tiba, sebuah motor berhenti di pinggir trotoar, tepat di depan Mirela. Pengendaranya memanggil, membuat langkahnya terhenti.
“Lo Mirela, kan?” tanya pengendara itu.
Mirela mengangguk tentu mengenali sosok Javier, wakil ketua OSIS sekaligus teman Ricky.
“Kenapa lo ada di sini?” tanyanya, bingung.
“Gue diturunin Ricky di sini,” jawab Mirela jujur.
Javier berdecak kesal karena Mirela seolah hanya diam jika Ricky semena-mena terhadapnya. “Terus lo terima aja gitu?”
“Gue harus gimana?” balas Mirela, nada suaranya terdengar pasrah.
Javier mendengus, lagi. Meski kesal, ia tetap menawarkan tumpangan. “Cepetan naik, kalo lo nggak mau telat.”
Tentu saja, tanpa ragu Mirela langsung menerima tawaran itu.
𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃 to be continued 𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃
KAMU SEDANG MEMBACA
THREAD OF DESTINY | 04 LINE
Fiksi PenggemarThis story for kpop fan ────୨ৎ──── ・┆Thread of Destiny | 04 line┆・ Takdir selalu menemukan caranya sendiri-membelokkan, mempertemukan, dan memisahkan hati yang terhubung dalam cara yang tak terduga. Terkadang menjadi sekutu yang lembut, kadang menja...