Terjengkang beberapa prajurit itu manakala seekor anjing tiba-tiba melompat dari semak belukar.
Tawa itu pun semakin keras sehingga Susena mengambil jalan memutar untuk mengetahui si pemilik suara. Tampaklah beberapa saat kemudian seorang laki-laki sepuh dengan rambut putih gimbal tanpa ikat kepala. Dalam keadaan membelakangi sang bekel, laki-laki sepuh itu sedang melakukan sesuatu pada rakit.
"Oh..., lihatlah, Sarama!
Lihatlah iring-iringan Raja!
Kuda-kudanya gagah dan mempesona!
Keretanya mengilap laksana kancana!
Tumenggung di depan tegap perkasa!
Senapati di belakang memimpin balayodha!
Angkasa cerah menerangkan jalan!
Kutilang terbang menebar kembang!
Oh..., lihatlah Sarama!
Lihatlah indahnya bumantara!Kidung yang isinya tidak sesuai dengan keadaan suram saat ini tiada membuat Susena kehilangan minat kepada si laki-laki itu. Pandangannya enggan lepas dari rakit sebab telah mendapatkan jalan keluar.
"Rahayu, Ki!" sapanya, tetapi yang disapa hanya bersenandung seraya mengeratkan ikatan. Sementara anjing yang kini di depannya menjulurkan lidah.
"Permisi, Ki!" Susena menyapa kembali dengan suara lebih keras dan kali ini berhasil menyita perhatian sosok sepuh tersebut. "Kami hendak menuju permukiman di seberang sehingga membutuhkan rakit. Apabila berkenan menyeberangkan, kami akan membayar sesuai keinginan Ki Sanak."
Sosok itu mengambil damar lalu memicing seraya mengamati Susena dan rombongannya. Bibir keriputnya mencebik-cebik.
"Tidak mau!" balasnya sebelum menjulurkan lidah.
Sang bekel tentu saja terheran-heran akan tingkah si sepuh. Ia belum pernah menghadapi orang seaneh itu.
"Apa yang Ki Sanak inginkan, kami akan sebisa mungkin memberikannya," bujuk Susena. "Asal Ki Sanak bersedia menyeberangkan kami."
Rupanya si sosok sepuh mengabaikan tawaran itu. Ia masih asyik memeriksa ikatan rakit hingga yakin semuanya telah terjalin kuat.
"He, Kakek! Kami meminta secara baik-baik! Apa salahnya memberikan bantuan? Kami pun mampu memberikan upah!" gertak Rukut.
Si sosok sepuh terperanjat hingga melompat mendengar teguran tersebut.
"Jahat! Orang jahat!" pekiknya lalu telungkup pada rakit dengan bahu gemetaran. Anjing yang bersamanya pun menyalak sekali kemudian turut merendahkan tubuh seolah-olah mengikuti majikannya.
Susena bertambah rasa herannya karena tingkah laku sosok sepuh yang tidak biasa. Namun sebentar kemudian, ia kembali berkata,
"Ki, kami hanya meminta bantuan sebentar saja. Lihatlah kawan saya yang tidak berdaya. Mereka bisa jatuh sakit karena tidak segera mendapat pertolongan. Tolong kasihanilah kami!"Susena tidak dapat menebak apa yang dipikirkan oleh si sosok sepuh itu ketika mendongak.
Perlahan, sosok sepuh itu menunjuk seraya berkata,
"Dia jahat! Aku tidak mau!" katanya dengan jemari mengarah kepada Rukut.Raut wajah Rukut jelas menunjukkan ketidaksukaan atas penghinaan itu, tetapi setelahnya ia hanya bisa pasrah tatkala Susena memintanya untuk mundur sejenak.
"Dia tidak jahat, kami dalam keadaan terdesak. Oleh karenanya, kami meminta bantuan Ki," ujar sang bekel dengan nada santun.
Sosok sepuh itu bergumam tak jelas. Ia kemudian berbisik-bisik kepada anjing peliharaannya seakan-akan binatang itu paham bahasanya. Lalu tanpa diduga, mereka melompat dari rakit. Tubuhnya agak membungkuk manakala berjalan mendekati Susena.
Dan ketika jarak mereka berdekatan itulah, sang bekal baru menyadari dengan jelas rupa si sosok sepuh. Segala rambut, alis, dan cambang sepanjang setengah depa telah putih sepenuhnya. Matanya yang dipenuhi keriput menyipit demi memperjelas pandangan seolah-olah nyala api pada damar yang dibawa tiada berguna. Juga ada segaris kecil bekas luka di dekat bibir.
.
.
Silakan lanjut membaca di aplikasi Cabaca. 🙏
Akun: AyuningDianhttps://cabaca.id/novel/candra-sandyakala-6099
KAMU SEDANG MEMBACA
Candra Sandyakala
Historická literaturaSuatu masa selama Perang Regrek, penyerangan dadakan dari pihak kedaton barat memaksa Susena melarikan seorang putri tumenggung. Berbelok dari tujuan, bekel prajurit itu berlindung di sebuah kabuyutan bernama Lohpati. Sambutan hangat diberikan warg...