2

1 0 0
                                    

Brakkk. Suara hentakan keras kayu tebal berwarna coklat gelap menghantam keras tembok dinding batu dan membangunkan seisi ruangan. Tidak terkecuali hewan hitam berbulu lebat dengan keempat kakinya yang pendek dan kedua pasang ekor berbulu lebat. Bulu-bulu hitamnya berdiri, keempat cakar kakinya melebar dan matanya membelalak terkejut.

Syera, 10 tahun, terbangun mendengar suara hentakan nyaring yang diciptakan pria tua bertubuh raksasa, kakeknya. Kedua matanya harus membiasakan cahaya terang yang menyilaukan dari luar ruangan. Dilihatnya sosok tubuh besar yang tidak pernah berhasil masuk ke dalam kamar Syera kecil. Ruangan yang bagi Syera berukuran cukup luas untuknya dan barang-barangnya justru tidak cukup menampung kepala sang kakek. Pintu berukuran standar, bahkan Lucy, ibu Syera menganggap pintu itu sudah cukup besar. Namun tidak untuk kakek Syera yang bahkan tidak bisa melewati pintu itu dengan tubuh besarnya dan kepalanya pasti akan tersangkut di atas pintu. Dengan tubuh besar kakeknya itu, pria itu membuat rumah dengan sedikit pintu dan sedikit sekat. Hanya untuk kamar tidur memiliki pintu bahkan ruangan kakeknya yang berada di lantai bawah memiliki pintu yang tak kalah besar dari tubuh kakeknya.

Pria paruh baya itu bukan besar karena tumpukan lemak, justru seluruh badannya keras seperti batu.

Seakan tidak mengenal lelah dan ketenangan. Syera harus terbangun untuk mengikuti kakeknya berburu di tengah lebatnya salju dan dinginnya suhu di subuh hari, adalah tradisi yang sewaktu waktu harus Syera ikuti dan patuhi. Tiap kali ia harus dibangunkan, secara refleks ia akan menoleh ke arah jendela yang tampak gelap, tanpa cahaya apapun. Sering kali Syera kecil berharap dapat melihat selain kegelapan dan dinginnya salju saat pagi hari. Walau begitu, kakek maupun ibunya tidak gentar sedikitpun untuk pergi keluar dan menerjang salju yang membekukan selama berjam-jam. Begitu pula dengan kakeknya yang tidak bosan mengajari Syera segala pengetahuan untuk bertahan hidup.

Who knows what snow can still be intact in March. Snow and snow and cold, of course.

Sebuah suara di kepala kecil Syera. Ia hanya bisa menghela nafas.

"Good morning, child!! The sun is rising, as you are. It's time to go hunting."

"Ugh. You know Pop, there's no sun wherever we go." Seru Syera menggerutu dengan suara erangan sebagai bentuk protes pada kakeknya, sembari mengucek mata dan merapikan rambut platinumnya yang berantakan.

"Where's your spirit? That's why, child. We have to go hunting now. Your mom is ready, when will you wake up?"

Mendengar ucapan kakeknya yang masih berdiri di depan pintu kamarnya itu membuat Syera terlompat dari kasurnya. Matanya lebih membelalak, menatap jam kecil di mejanya yang bahkan belum menunjukkan jam 5 pagi.

"What?? Mom is ready? Damn it's not even 5."

"Hahahaha! I like that spirit, but where did you learn those words?"

Syera menutup mulutnya rapat, matanya mengalihkan pandangan, terkejut, ia tidak pernah berkata demikian di depan ibu maupun kakeknya.

Mengalihkan pembicaraan, Syera segera berlari turun ke bawah. Menghadapi kenyataan bahwa tidur lebih awal sama sekali tidak membantunya untuk bangun lebih awal, Syera merasakan pusing di keningnya.

Ia berlari ke arah kamar mandi di lantai bawah untuk mencuci wajahnya kemudian mendatangi meja makan untuk menikmati sarapan yang telah disiapkan ibu nya. Seperti yang kakek nya katakan, ibu nya sudah siap sedia dengan segala perbekalan dan senjata tajam untuk berburu. Tidak butuh waktu lama untuk Syera bersiap-siap. Mereka bertiga beserta kucing peliharaan yang mereka beri nama Caine pergi meninggalkan rumah hangat mereka untuk berperang melawan lebatnya salju dan udara yang dingin mematikan.

SYERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang