18

2 1 0
                                    

Hakaken membuka pintu rumahnya dengan senyuman lebar di wajahnya, seperti biasa, penuh percaya diri. Axel dan Ryuji, yang sudah pernah mengunjungi rumah ini sebelumnya, masuk tanpa basa-basi. Di belakang mereka, anggota baru fraksi, termasuk Akira, Kenta, dan Miko dari kelas L, M, dan N, terlihat sedikit terkejut melihat rumah megah itu.

Axel melirik mereka dengan seringai khasnya. “Kalian tenang saja. Rumah ini memang luar biasa, tapi orangnya tetap Hakaken yang sama. Jangan terlalu terpesona.”

Miko, yang berjalan dengan pandangan berkeliling, terkekeh kecil. “Rumah ini seperti villa di drama televisi. Aku tidak menyangka Suzuran punya seseorang seperti dia.”

Hakaken menoleh ke belakang, menatap mereka dengan santai. “Hey, jangan terlalu memikirkan rumah ini. Kita di sini untuk bersantai dan mempererat hubungan sebagai fraksi. Anggap saja ini tempat kita untuk diskusi ke depan.”

Ryuji, yang sudah tahu kepribadian Hakaken, hanya mendesah sambil melirik Axel. “Jangan tertipu dengan kata-katanya. Sebentar lagi dia pasti menyuruh kita melakukan sesuatu yang aneh.”

Hakaken terkekeh, lalu berjalan ke dapur. “Sebenarnya aku memang punya permintaan kecil. Ryuji, kau yang masak malam ini.”

“Apa?!” Ryuji memprotes sambil menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa harus aku?”

“Karena Axel masak terakhir kali, dan aku tidak mau dapurku dihancurkan,” jawab Hakaken dengan santai.

Axel hanya tertawa keras. “Ryuji, jangan coba-coba kabur. Kau tahu Hakaken tidak akan membiarkan kita makan kalau kau tidak masak.”

Ryuji menghela napas panjang dan mengangkat tangannya menyerah. “Baiklah, tapi kalian jangan berharap terlalu banyak. Aku cuma tahu cara masak mie instan.”

Hakaken mengangguk puas. “Bagus. Aku yakin kau bisa mengatasi dapur modernku. Sementara itu, aku akan menunjukkan rumah ini pada yang lain.”

Mereka semua duduk di ruang tamu dekat kolam renang. Sofa empuk dan suasana hangat membuat Akira, Kenta, dan Miko merasa sedikit lebih rileks meskipun ini adalah pertemuan pertama mereka sebagai bagian dari Fraksi Hakaken.

Miko mengamati kolam renang dengan kagum. “Ini lebih besar dari rumahku sendiri.”

Kenta mengangguk setuju. “Aku kira Suzuran penuh dengan orang-orang seperti kita—berandal jalanan. Tapi ini...”

Axel menyela dengan santai. “Hakaken memang pengecualian. Jangan bandingkan dia dengan kita yang biasa hidup seadanya.”

Hakaken hanya tersenyum. “Hei, aku juga berjuang seperti kalian. Rumah ini memang besar, tapi semua ini tidak ada artinya kalau aku tidak punya teman seperti kalian.”

Akira menatap Hakaken, mencoba menilai ketulusan kata-katanya. Setelah beberapa saat, dia hanya mengangguk. “Kau punya cara bicara yang membuat orang percaya, Hakaken. Aku harap itu juga berlaku untuk memimpin fraksi ini.”

Hakaken tersenyum lebar. “Tentu saja. Tapi sebelum kita bicara soal itu, aku ingin kalian merasa nyaman dulu. Kita akan makan malam bersama sebelum membahas apa pun.”

Sementara mereka berbincang, Ryuji di dapur berjuang menghadapi peralatan modern yang belum pernah dia gunakan sebelumnya. Axel yang penasaran datang untuk mengawasi, hanya untuk menemukan temannya kebingungan di depan kompor induksi.

“Ryuji, kau serius tidak tahu cara menyalakan ini?” Axel bertanya dengan nada menggoda.

“Aku tahu! Aku cuma... butuh waktu,” balas Ryuji, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

Axel mendekat, menekan beberapa tombol di kompor itu hingga akhirnya menyala. “Lihat? Tidak sulit, kan?”

“Aku tidak perlu kuliah soal kompor darimu,” Ryuji menggerutu, meski dia akhirnya mulai memasak dengan lebih lancar.

Ketika makanan akhirnya siap, mereka semua duduk di ruang makan lantai dua. Meja panjang itu dipenuhi dengan hidangan sederhana yang, meskipun tidak sempurna, cukup menggugah selera.

Hakaken memulai percakapan dengan nada santai. “Sekarang, mari kita bahas masa depan. Fraksi kita baru saja terbentuk, dan aku ingin mendengar pendapat kalian tentang langkah berikutnya.”

Kenta, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. “Menurutku, kita perlu lebih banyak menunjukkan kekuatan kita. Suzuran adalah tempat di mana hanya yang terkuat yang dihormati.”

Miko menambahkan. “Tapi kita juga harus hati-hati. Jika kita terlalu menonjol, pasti akan ada yang mencoba menjatuhkan kita.”

Hakaken mengangguk. “Kalian benar. Kita harus menjaga keseimbangan. Aku percaya kita bisa menjadi kekuatan terbesar di Suzuran, tapi itu tidak akan terjadi dalam semalam.”

Akira, yang sejak tadi mendengarkan, menatap Hakaken dengan serius. “Aku hanya punya satu syarat. Jangan biarkan ego menghancurkan fraksi ini. Kalau kau bisa menjamin itu, aku akan mendukungmu sepenuhnya.”

Hakaken menatap Akira dengan senyum penuh keyakinan. “Aku tidak akan mengecewakan kalian. Fraksi ini bukan tentang aku, tapi tentang kita semua.”

Setelah makan malam, Hakaken mengajak mereka menjelajahi rumahnya. Ketika mereka sampai di lantai keempat, perhatian mereka langsung tertuju pada koleksi pedang yang dipajang rapi di lemari kaca.

Axel, yang sudah pernah melihat koleksi ini sebelumnya, tetap merasa terkesan. “Aku tidak akan pernah bosan melihat semua ini. Kau seperti kolektor profesional.”

Hakaken tertawa kecil. “Kakekku adalah seorang penggemar sejarah. Koleksi ini adalah warisannya.”walaupun itu sebenarnya hanya dalih hakaken agar identitas nya sebagai orang yang di transmigrasi tidak terbongkar

Ryuji mendekati salah satu katana dan mengamati detailnya. “Kau tahu cara menggunakan semua ini?”

Hakaken mengangguk santai. “Tentu saja. Tapi aku lebih suka menggunakannya sebagai simbol daripada senjata.”

Setelah selesai berkeliling, mereka kembali ke ruang tamu di lantai pertama. Suasana menjadi lebih santai, dengan mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari rencana ke depan hingga candaan ringan tentang Ryuji yang hampir membakar dapur.

Hakaken menatap mereka satu per satu. “Aku senang kalian semua ada di sini malam ini. Aku percaya ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Fraksi ini akan menjadi bukti bahwa Suzuran tidak hanya tentang perkelahian, tapi juga tentang persahabatan dan kepercayaan.”

Axel tersenyum kecil, menatap Hakaken. “Kau memang punya bakat bicara, Hakaken. Jangan sampai kau mengecewakan kami.”

“Aku tidak akan,” jawab Hakaken dengan nada serius. “Kalian adalah alasan kenapa aku ada di sini. Kita semua adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.”

Malam itu menjadi malam yang penuh makna, mengukuhkan hubungan di antara mereka sebagai anggota Fraksi Hakaken yang baru.

Pertarungan Pemuda Berdarah Panas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang