Setelah selesai dengan diskusi ringan di sekolah, Hakaken mengajak Axel, Ryuji, dan anggota baru fraksinya—Akira, Kenta, dan Miko—untuk mampir ke rumahnya. Undangan itu diterima dengan antusias, meskipun ada sedikit rasa penasaran dari anggota baru tentang apa yang akan mereka temui.
Saat mereka berjalan keluar dari gerbang Suzuran, matahari sudah mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan gradasi jingga. Jalanan yang mereka lalui sedikit lengang, hanya diisi suara langkah kaki mereka dan sesekali tawa ringan yang pecah di antara obrolan santai.
“Hei, Hakaken,” Akira membuka pembicaraan, menyilangkan tangannya di belakang kepala. “ seperti apa rumah mu? Aku mendengar beberapa desas-desus, tapi sulit untuk percaya.”
Hakaken melirik Akira dengan seringai santai. “Desas-desus apa? Aku penasaran juga.”
Kenta, yang berjalan di samping Akira, menimpali. “Ada yang bilang kau tinggal di mansion dengan lima lantai. Sebagian lagi bilang kau sebenarnya tinggal di apartemen mewah di tengah kota.”
Hakaken tertawa kecil. “Well, kau akan melihatnya sendiri. Aku tidak akan merusak kejutan.”
Axel yang berjalan di depan, memasukkan tangan ke saku celananya, mengangkat bahu. “Tidak perlu berlebihan, kalian. Rumah Hakaken memang besar, tapi jangan sampai kalian terlalu terpukau. Nanti dia makin sombong.”
“Aku tidak sombong!” sergah Hakaken dengan nada pura-pura tersinggung.
“Ya, ya, terserah,” Axel menjawab sambil terkekeh.
Miko, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Sejujurnya, aku penasaran. Tapi yang lebih penting, apa kita akan makan di sana? Aku mulai lapar.”
Hakaken menepuk bahu Miko sambil tersenyum lebar. “Tentu saja. Aku akan memastikan kalian makan enak malam ini.”
“Dengan catatan, masaknya bukan Hakaken,” sela Ryuji dengan nada sarkastik. “Aku tidak ingin dapur rumahnya terbakar.”
Hakaken hanya mendengus, memilih untuk tidak menanggapi ejekan Ryuji.
Ketika mereka semakin jauh dari pusat kota, suasana mulai berubah. Jalanan menjadi lebih sepi, dengan pepohonan besar di sepanjang sisi jalan. Udara terasa lebih segar, dan suara hiruk pikuk kota perlahan menghilang.
Miko melihat sekeliling dengan kagum. “Aku tidak pernah ke daerah ini sebelumnya. Rasanya seperti dunia lain.”
Kenta mengangguk setuju. “Benar. Aku kira Suzuran berada di bagian paling kacau kota, tapi tempat ini terasa... damai.”
Hakaken tersenyum kecil, matanya menatap ke depan. “Itulah kenapa aku suka tinggal di sini. Kadang, setelah hari yang berat di Suzuran, aku butuh tempat untuk tenang.”
Akira melirik Hakaken, sedikit penasaran. “Jadi, kau memang sengaja memilih tempat ini? Bukannya kau dari keluarga kaya atau semacamnya?”
Hakaken tidak langsung menjawab, hanya memberi senyuman misterius. “Kita semua punya cerita masing-masing, Akira. Tapi cerita itu tidak penting sekarang. Yang penting adalah apa yang kita bangun bersama.”
Axel menatap Hakaken dengan ekspresi datar, lalu menoleh ke Akira. “Jangan terlalu dipikirkan. Hakaken suka bermain teka-teki dengan kata-katanya.”
“Hei! Aku serius kali ini,” bantah Hakaken, membuat yang lain tertawa kecil.
Setelah berjalan sekitar setengah jam, mereka berhenti di sebuah taman kecil untuk istirahat. Axel mengambil botol air dari tasnya, meneguk beberapa teguk sebelum duduk di bangku taman.
“Kita masih jauh?” tanya Miko, mengusap peluh di dahinya.
Hakaken melirik jam tangannya. “Tidak terlalu jauh. Mungkin lima belas menit lagi.”
Ryuji menghela napas, duduk di sebelah Axel. “Kenapa kau tidak membawa mobil saja? Kau pasti punya, kan?”
Hakaken terkekeh. “Tentu saja aku punya. Tapi aku pikir perjalanan ini akan membantu kita lebih dekat sebagai tim. Kau tahu, sedikit berjalan kaki bersama bisa memperkuat hubungan.”
Axel mendengus pelan. “Omong kosong. Kau pasti cuma ingin pamer rumahmu lebih dramatis.”
Hakaken tertawa keras. “Axel, kau benar-benar mengenalku dengan baik.”
Kenta, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri. “Kalau sudah cukup istirahat, ayo kita lanjut. Aku tidak sabar melihat seperti apa rumahmu, Hakaken.”
Yang lain setuju, dan mereka melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka mendekati rumah Hakaken, suasana di sekitar menjadi semakin tenang. Jalanan mulai menanjak sedikit, dan di ujung jalan, mereka melihat gerbang besar yang terbuat dari besi hitam.
Hakaken berhenti di depan gerbang itu, mengambil kunci dari sakunya, lalu membukanya dengan satu gerakan halus.
“Selamat datang,” katanya dengan nada santai, mendorong gerbang hingga terbuka sepenuhnya.
Di balik gerbang itu, berdiri rumah megah dengan lima lantai yang dikelilingi taman luas. Pohon-pohon besar di sekitar rumah memberikan kesan isolasi sekaligus kemegahan. Para anggota baru fraksi terdiam, terpana oleh pemandangan itu.
“Wow...” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Miko.
Akira menyipitkan matanya, mencoba memahami apa yang dia lihat. “Ini... lebih dari yang kubayangkan.”
Kenta hanya mengangguk tanpa kata-kata, jelas-jelas terkejut.
Axel menepuk bahu Kenta dengan seringai. “Aku sudah bilang, jangan terlalu terpesona. Kau harus lihat bagian dalamnya. Itu bahkan lebih gila.”
Hakaken tersenyum puas melihat reaksi mereka. “Ayo, jangan berdiri di luar terlalu lama. Masuklah. Kalian akan merasa lebih nyaman di dalam.”
Dengan itu, mereka melangkah masuk, siap untuk malam yang penuh rencana dan kebersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertarungan Pemuda Berdarah Panas
Novela JuvenilCerita tentang seorang pemuda yg penuh akan gairah pertarungan