Part 2 : Transisi Kehidupan

588 16 5
                                    

Diruangan kecil ini aku duduk terpaku, besok adalah hari pernikahan Sulis wanita yang sangat aku sayangi. Aku berharap bahwa ketika aku bangun nanti seseorang akan mengatakan ini hanyalah sebuah candaan. Aku terpejam memikirkan ini semua, dan terlelap karena kelelahan yang aku rasakan. Tanpa sadar sinar mentari sudah mulai menerangi kamar ku, terdengar ketukan pintu dari sisi luar kamarku.
"Mas, bangun. Udah ditungguin ibu tuh" ucap suara adik ku dari balik pintu. Adik ku satu - satunya. "Sebentar dho, mas mau beberes dulu" aku segera bergegas untuk mandi.
"Dian, coba duduk dulu sebentar. Ibu mau bicara" ibu memanggilku diteras depan. Ku hampiri ibu ku kedepan, pasti ada banyak sekali pertanyaan dibenaknya saat ini. Namun sebagai seorang anak laki - laki aku harus bertanggung jawab atas semua tindakan yang aku lakukan. Begitulah yang selalu ibu ajarkan pada kami selama ini.
"Kamu itu kenapa toh nang, om mu kemarin telepon. Katanya kamu sekarang sering ga datang ke tempat kerja" ujar ibuku padaku.
"Anak mu ini sedang patah hati bu, Sulis besok menikah. Aku harus bagaimana bu?" Ucapku pada ibuku. "Yah masalah patah hati itu ya semua orang pasti ngalamin. Terus kamu dengan sering bolos itu mau gimana? Mau jadi apa? Ibu dengar juga dari anak bu mina yang sekampus sama kamu. Kamu juga jarang masuk, bener?" Tanya ibuku kembali padaku.
"Maaf bu, ga bakal diulangi lagi. Pulang dari sini aku bakal bener - bener bu kerjanya. Aku juga bakal selesaikan kuliahku" jawabku pada ibu.
"Kamu janji lo ya sama ibu, ibu ga mau lihat kamu terpuruk loh nang. Kamu itu kebanggaan ibu. Kalian semua itu harta ibu yang paling berharga" ucap ibuku menyadarkan ku.
"Iya bu, aku minta maaf bu" ucapku sembari menundukkan badanku meraih tangannya, mencium tangan ibuku. Ibu mengusap kepala ku seperti biasanya. Hal yang selalu aku rindukan, walaupun aku sudah sebesar ini.

Aku melihat rombongan tetanggaku menggunakan pakaian bagus melewati depan rumah kami, ada seorang ibu - ibu yang bertanya kepada ibuku.
"Ga berangkat ke tempatnya pak karni bu? Anaknya nikah loh. Itu loh yang perempuan" ucap ibu - ibu itu pada ibuku.
"Iya bu, duluan aja. Nanti kami menyusul" ucap ibuku pada mereka.

Kamipun berangkat mengendarai sepeda motor menuju tempat resepsi mantan kekasihku itu, aku membonceng ibuku. Ridho mengendarai sepeda motornya sendiri.
Ku perhatikan tamu undangan yang berdatangan, sejujurnya aku sangat enggan untuk hadir. Tapi aku harus menghadapi ini untuk kembali menjalankan hidupku. Aku penasaran dengan sosok pria yang diterima lamarannya oleh ayah Sulis. Akupun berjalan masuk ke dalam tenda menuju pelaminan. Bersama ibuku, aku berjalan kearah orang tua Sulis. Ayah dan Uminya Sulis berdiri menyambut kami. Umi Sulis terlihat sedih menatapku, yang sabar ya nak. Jodoh itu Tuhan sudah atur, kamu tidak berjodoh dengan anak umi mungkin sudah disiapkan jodoh yang lebih baik lagi bagimu.
Aku tidak berkomentar, bagiku mereka adalah orang yang memisahkanku dengan jodohku.
Aku salami mereka dan berjalan ke arah Sulis dan mempelai prianya. Sosok pemuda yang mungkin sudah berumur 30an. Sosok pemuda yang lebih dewasa jauh dari usia kami. Sulis menatapku tertunduk, dia tak kuasa menahan air matanya. Aku salami mempelai pria nya, dan keluarganya setelah itu aku pun turun.
Aku cari ibuku, aku minta pamit duluan. Biar ibu pulang bersama Ridho saja.
Ku pacu sepeda motorku dengan sekencang - kencangnya. Aku tak perduli lagi dengan apa yang akan dikatakan orang. Aku bergegas pulang.

Ibuku dan Ridho tiba dirumah menjelang maghrib, mereka langsung masuk dan merapikan diri bersiap untuk sholat. Kami belum sempat berbicara setelah acara itu.
Setelah semua beres, kamipun kumpul di meja makan.
"Nang, ikhlaskan aja. Masih banyak yang lebih cantik dari dia" ujar ibuku memecah kebisuan.
Ridho terdiam dan mencoba untuk tidak ikut dalam pembicaraan kami.
"Iya bu, besok pagi mungkin aku langsung balik ke kota" ujarku pada ibuku.
"Ibu doakan yang terbaik buat mu ya nang, kamu harus bisa bangkit" ujar ibuku.
Kamipun menyelesaikan makan dan menyudahi obrolan ini. Keesokan paginya aku berangkat tanpa ditemani oleh ibu yang sudah kembali dengan kesibukannya. Butuh enam jam perjalanan untuk tiba dikota tempat ku sekarang. Disini, realita kehidupanku akan terus berjalan.

Berawal dari putus cinta, berakhir menjadi wariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang