Part 3 : Berpetualang didunia waria

572 14 7
                                    

Tidak mudah memang dalam menjalani dua sisi kehidupan berbeda didalam satu tubuh yang sama, terkadang aku terbawa suasana dengan sisi feminim ku ketika berinteraksi dengan orang lain di tempat kerjaku, dikampusku. Mungkin beberapa dari mereka menyadari dengan perubahan yang aku alami.
Beberapa dari mereka bahkan tak jarang mulai mencibir di belakang ku, ada juga yang mengataiku dengan panggilan banci. Aku marah saat itu, aku hampiri orang itu dan menanyakan maksud dari perkataannya. Beberapa kali aku terlibat perkelahian dengan mereka, walaupun didalam lubuk hati ku yang terdalam tidak dapat dipungkiri. Ya, perlahan sekarang aku berubah menjadi banci, menjadi waria, menjadi bencong seperti yang mereka katakan.
Aku selalu menyangkal ketika seseorang mengataiku dengan sebutan itu, namun aku semakin nyaman dengan sisi wanitaku. Aku semakin menikmati setiap perubahan yang terjadi pada diriku. Dan inilah aku dan kehidupanku saat ini, sebisa mungkin aku selalu berusaha tampil maskulin saat menjadi seorang lelaki normal. Namun semakin liar ketika aku menjelajah lebih jauh tentang kehidupan wanitaku.

"Mbak fani" ujar ku memanggil mbak Tiffani yang masih berdandan dimeja riasnya. Bersiap untuk memulai pekerjaan malamnya itu.
"Mbak, ajarin aku dandan juga dong" ujarku sambil duduk disebelahnya.
"Oke, sini mbak ajarin sambil di praktekin langsung aja ya" ucap mbak Tiffani.
"Ini namanya primer, atau biasanya pada bilangnya alas bedak" ujar mbak Tiffani mengoleskan cream diwajahku. Diratakan keseluruh permukaan kulitku.
"Nah yang ini foundation, pilih warnanya harus sesuai sama warna kulitmu" dia melanjutkan riasannya padaku.
"Harus diratakan sama ini nih" dia menggunakan powder puff untuk meratakan keseluruhan make up itu. "Jangan ketebalan juga, nanti hasilnya malah retak. Kan ga lucu jadinya malah mirip dinding yang mengelupas. Hahaha.." ucap mbak Tiffani sambil terus memoles wajah ku.
"Ini namanya maskara, untuk mempertebal bulu mata mu" ujar mbak Tiffani sambil menjepitkan alat seperti gunting namun dibagian ujungnya malah berbentuk seperti penjepit yang melebar mengikuti bentuk kelopak mata. Dioleskan maskara itu pada bulu mataku.
"Kalau rutin pakai bisa buat lebih lentik loh, biar cepet manjang" ucapnya padaku.
"Dibagian sebelahnya ini bisa dipakai untuk eyeliner" ujarnya sambil mengukir mengikuti kelopak mataku, dibagian ujungnya dibuat sedikit meruncing.
Mbak Tiffani mengambil pinset dan merapikan alisku yang agak berantakan.
"Bentuknya sudah bagus sih, kurang rapi aja" ujarnya sambil mencabut beberapa alisku yang tumbuhnya agak liar. Aku sesekali meringis saat alisku dicabut, agak perih rasanya.
"Ini biasanya ditemukan di tas anak sd" ujarnya sambil mengeluarkan pensil.
"Seriusan mbak pakai pensil? Buat apaan?" Tanyaku bingung.
"Hahahaha... bukan pensil itu lah dian. Ini pensil alis. Memang dibuat untuk make up" ujarnya sambil mempertegas bentuk alisku. Aku tersenyum geli mendengarnya.
"Ini lipbalm, biar bibir mu lebih lembab" ujarnya mengeluarkan sesuatu seperti lipstik namun berwarna putih. Namun berubah sedikit kemerahan ketika terkena bibirku. Wah, seperti magic pikirku dalam hati.
"Ini yang lipstick beneran, jangan pilih warna yang gelap. Biar terlihat lebih muda. Tapi nanti kamu harus coba sendiri aja, soalnya tiap warna beda hasilnya" dia memberikan bibirku sentuhan warna pink muda.
"Ini biar hasilnya ngeset dan mengkilap" ucap mbak Tiffani memoleskan lagi bibirku dengan lipgloss. Ada sensasi sedikit kaku namun tidak begitu mengganggu. Ku pandangi hasil riasan mbak fani. Sungguh aku berubah menjadi sangat cantik.
"Malam ini mau keluar ya? Masa udah dandan gini diem dirumah?" Tanya mbak fani padaku.
"Belum ada rencana mbak, dirumah aja kali ya. Lagian masih ga pede mbak" ujarku padanya.
"Ikut mbak aja yuk, ga usah minder lah dian. Kamu itu cantik. Percaya deh sama mbak" ucapnya padaku. Dipakaikan rambut palsu untuk membuat wajahku semakin feminin. Alhasil aku benar - benar terkesima melihat wajahku sendiri. Wajah seorang wanita muda dengan dandanan yang natural, tidak menor menurutku. Aku terdiam sejenak menikmati pemandangan itu.
"Emang boleh ikut mbak? Nanti aku jadi ngeganggu kerjaan mbak ngga?" Ucapku padanya.
"Yah ngga sih, nanti kamu tungguin aja mbak di lobby. Ga lama kok" ucap mbak Tiffani.
Seketika adrenalin ku seperti tertantang, perasaan berdebar untuk mencoba hal baru yang belum pernah aku rasakan. Aku menyetujui tawaran mbak Tiffani itu.

Berawal dari putus cinta, berakhir menjadi wariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang