Awal pertemuan

410 36 0
                                    

Saat Charlotte melangkah ke sekolah barunya, matahari bersinar terang di atas halaman. Suara ceria siswa-siswa yang berkumpul mengisi udara, berbincang setelah liburan musim panas. Ia melihat banyak wajah bahagia yang tertawa dan berbicara. Halaman sekolahnya luas, dikelilingi pohon-pohon tinggi yang menciptakan bayangan di rumput, dan ada bangunan bata yang tua yang memberikan kesan tradisional dan bergengsi.

Charlotte sadar bahwa kehadirannya menarik perhatian. Dikenal sebagai influencer, gaya dan senyumnya yang bersinar membuat semua orang memandangnya. Pakaian rancangan desainer dan rambutnya yang rapi membuatnya menonjol saat dia berjalan. Semua bisikan dan tatapan orang-orang mengikuti langkahnya, menandakan bahwa gadis baru ini sudah membuat heboh.

Dengan semangat baru, Charlotte dikelilingi oleh sekelompok anak laki-laki dan perempuan yang ingin memperkenalkan diri. Mereka memberi pujian dan kata-kata ramah, membuatnya merasa diterima saat ia berjalan melalui lorong yang ramai menuju kelas. Lorong-lorong dipenuhi loker dan dihiasi poster-poster berwarna-warni tentang klub dan acara. Energi di sekitarnya terasa hidup, dan Charlotte merasa bersemangat untuk memulai petualangan baru di sekolah ini.

Di tengah kerumunan, Charlotte tertarik pada seorang gadis yang berbeda. Gadis itu tinggi dan menarik, dengan aura misterius yang membuat Charlotte terpesona. Wajahnya yang menonjol dan sikapnya yang tenang membuatnya terlihat istimewa. Dia bersandar di dinding, mengamati kerumunan dengan tatapan campuran antara ketidakpedulian dan rasa ingin tahu. Pakaian sederhana yang dikenakannya tampak elegan, dan ada aura percaya diri yang membuatnya sulit untuk tidak diperhatikan.

Ketika kelas dimulai, Charlotte terkejut menemukan dirinya duduk di sebelah gadis yang menarik perhatian itu. Bertekad untuk mengenalnya, dia memperkenalkan diri dengan senyum hangat. "Hai, aku Charlotte," katanya sambil mengulurkan tangan. Gadis itu menatapnya, ekspresinya tidak jelas, sebelum mengangguk sedikit. "Aku Engfa," jawabnya. Engfa tampak tenang, dan ada sesuatu dalam sikapnya yang terasa sulit untuk didekati.

Charlotte tidak membiarkan sikap Engfa membuatnya menyerah. Ketika Engfa tampak mengantuk di kuliah aljabar yang membosankan, Charlotte menyenggolnya lembut. "Hei, jangan tidur," bisiknya dengan berusaha humoris. Namun, tatapan dingin Engfa membuatnya terkejut, seolah memberi peringatan untuk tidak mendekat. Mata Engfa dingin seperti es, dan Charlotte merasakan ketegangan di punggungnya.

Saat waktu istirahat tiba dan Engfa meninggalkan kelas tanpa sepatah kata pun, Charlotte menoleh kepada teman-teman barunya, Heidi dan Marima. "Ada yang salah dengan Engfa?" tanyanya, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan. "Dia terlihat sangat... jauh."

"Jangan terlalu memikirkan Engfa, dia bersikap seperti itu kepada semua orang," ujar Heidi sambil mengibaskan rambut cokelat panjangnya ke bahu. "Dia memang selalu seperti itu. Kebanyakan orang hanya menyimpan perasaan mereka sendiri."

"Ya," Marima menambahkan sambil membetulkan kacamatanya. "Dia memang misterius. Tidak ada yang tahu banyak tentangnya." Rasa penasaran Charlotte semakin meningkat. Dia bertanya-tanya apa yang ada di balik tatapan Engfa yang jauh. Ada daya tarik tertentu pada diri Engfa yang membuat Charlotte ingin tahu lebih banyak.

Dalam beberapa hari berikutnya, Charlotte berusaha beberapa kali untuk mendekati Engfa. Dia menyapanya dengan senyuman di lorong, menawarkan untuk berbagi catatan, dan memuji pilihan busananya. Namun, Engfa selalu merespons dengan sikap dingin yang sama, tidak pernah menunjukkan perhatian.

Suatu sore, saat Charlotte sedang berjalan menuju lokernya, dia melihat Engfa duduk sendirian di bawah pohon di halaman, asyik menggambar di buku catatannya. Charlotte merasa ini adalah kesempatan yang baik, dan dia pun menghampirinya, meski jantungnya berdebar kencang karena rasa gugup yang terasa menyelimuti.

"Hai, Engfa," katanya lembut. "Keberatan kalau aku bergabung?"

Engfa menatap ke atas, terlihat terkejut sejenak sebelum kembali bersikap biasa dan acuh tak acuh. "Kalau kau mau," jawabnya dengan nada yang datar.

Charlotte duduk di samping Engfa, keheningan di antara mereka terasa berat namun tenang. Dia mengamati pensil Engfa bergerak dengan lincah di atas kertas, menghasilkan gambar yang rumit, indah, dan sedikit misterius.

"Luar biasa!" seru Charlotte, penuh kekaguman. "Kau benar-benar seniman yang berbakat."

Engfa terdiam sejenak, ekspresinya sedikit lebih lembut. "Terima kasih," katanya pelan, dan untuk pertama kalinya, matanya bertemu dengan mata Charlotte dengan sedikit kehangatan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Haiiiiii, maaf nih kalok ceritanya kurang menarik hehe, soalnya baru mulai belajar nulis cerita
Semoga suka ❤️❤️❤️
Jangan lupa vote nya di kiri bawah biar autor semangat upload nya 🥰

Dinginnya Cinta (ENGLOT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang