Secangkir kopi

203 28 1
                                    

Charlotte tak bisa melupakan Engfa. Setiap pertemuan, setiap tatapan dingin, setiap percakapan singkat, semuanya terukir dalam ingatannya. Ada sesuatu yang menarik pada diri Engfa yang membuat Charlotte penasaran, meskipun sikapnya yang dingin. Dengan tekad yang kuat, Charlotte memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda.

Pagi berikutnya, Charlotte tiba di sekolah lebih awal, berharap dapat bertemu Engfa sebelum halaman sekolah ramai. Ia menemukan Engfa di tempat yang sama seperti kemarin, di bawah pohon ek tua, asyik dengan sketsanya.  Setelah menghirup napas panjang, Charlotte menghampirinya dengan secangkir kopi di tangan.

"Selamat pagi, Engfa," kata Charlotte dengan senyum ramah, menawarkan kopi tersebut. "Semoga kamu menyukainya."

Engfa mendongak, wajahnya masih sulit dibaca. Charlotte menahan napas, takut ditolak. Tetapi Engfa menerima cangkir kopi itu, jari-jarinya menyentuh tangan Charlotte dalam sentuhan singkat yang tak terduga. "Terima kasih," gumamnya lirih.

Charlotte duduk di sampingnya, memperhatikan Engfa menggambar. "Bolehkah aku tahu apa yang sedang kamu gambar?" tanyanya dengan lembut.

Engfa tampak ragu-ragu sebelum akhirnya sedikit memutar buku sketsanya, memperlihatkan gambar kepada Charlotte. Gambar halaman sekolah itu tampak seperti mimpi, dengan nuansa surealis yang membuatnya terasa ajaib.

"Wah," Charlotte mendesah. "Kau benar-benar berbakat fa."

Sebuah senyum tipis, hampir tak terlihat, melintas di bibir Engfa. "Terima kasih," katanya, suaranya begitu lembut, seperti bisikan angin.

Beberapa saat mereka duduk dalam diam, sinar matahari pagi melukis bayangan panjang di atas rumput. Charlotte memperhatikan Engfa, cahaya seolah-olah telah mencairkan lapisan es di matanya, menyingkapkan kelembutan yang selama ini tersembunyi.

"Jadi, apa yang membuatmu mulai menggambar?" tanya Charlotte, memecah keheningan.

Engfa mengangkat bahu. "Itu hanya sesuatu yang selalu kulakukan. Itu membantuku... mengamati berbagai hal."

Charlotte mengangguk, merasakan ada hal lain dalam cerita Engfa. "Aku mengerti. Bagiku, fashion dan media sosial adalah segalanya. Itulah caraku mengekspresikan diriku."

Engfa menatap Charlotte, sedikit rasa ingin tahu terlihat di matanya. "Kau pasti banyak dikagumi, ya?"

Charlotte tertawa kecil, suaranya sedikit lirih. "Memang menyenangkan, tapi juga sangat melelahkan. Aku ingin bisa menjadi diriku sendiri tanpa harus memikirkan ekspektasi orang lain."

Engfa mengangguk pelan, seolah baru pertama kali mengerti. "Aku bisa melihatnya."

Hari-hari berlalu, dan Charlotte mendapati dirinya sering memperhatikan Engfa. Sikap Engfa terlihat lebih lembut, seolah-olah pertahanannya mulai runtuh. Saat mengerjakan proyek biologi bersama, tangan mereka beberapa kali bersentuhan saat berbagi alat. Setiap sentuhan membuat jantung Charlotte berdebar lebih cepat dan mengirimkan sensasi ke seluruh tubuh.

Di tengah waktu makan siang, Charlotte mengundang Engfa untuk bergabung dengan dia dan teman-temannya. Engfa tampak ragu pada awalnya, tetapi kemudian setuju. Heidi dan Marima menyambut Engfa dengan ramah, dan suasana menjadi hangat saat mereka berempat tertawa dan berbincang. Charlotte terpesona melihat mata Engfa bersinar ketika dia membahas seni, dengan tawanya yang lembut dan merdu.

Sore harinya, saat mereka berkemas untuk pergi, Charlotte menoleh ke Engfa. "Hei, kamu mau nongkrong bareng sepulang sekolah? Mungkin minum kopi atau apa?"

Engfa ragu-ragu, menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu..."

"Aku janji ini akan menyenangkan," kata Charlotte sambil tersenyum. "Hanya dua teman yang sedang nongkrong."

Engfa menatapnya, dan sesaat, Charlotte melihat kilatan keraguan di matanya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Ayo kita lakukan."

Mereka bertemu di sebuah kafe dekat sekolah. Sambil menikmati secangkir kopi panas, mereka mengobrol tentang berbagai hal, dari yang serius hingga yang ringan. Charlotte mengetahui bahwa Engfa suka membaca dan memiliki kucing bernama Coco. Engfa pun menemukan bahwa Charlotte memiliki adik laki-laki yang sangat menyayanginya, dan bahwa dia bermimpi untuk memulai fashion busana sendiri suatu hari nanti.

Seiring berlalunya malam, Charlotte merasakan ikatan yang semakin erat dengan Engfa. Ada ikatan batin yang tak terbantahkan di antara mereka, percikan yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam. Ketika mereka akhirnya berpisah, Charlotte tidak dapat menahan rasa penuh harap tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan.

Malam itu, di tengah keheningan kamarnya, Charlotte membiarkan pikirannya melayang ke hari yang baru saja berlalu. Sebuah kegembiraan lembut menyelimuti hatinya, sebuah rasa bahwa ini baru awal dari sebuah perjalanan yang menjanjikan. la ingin menyelami jiwa Engfa, mengungkap misteri di balik senyum dan tatapannya. Mungkin, hanya mungkin, ia akan menemukan bahwa perasaannya berbalas di hati Engfa.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Heheh maap gajelas soalnya baru belajar mohon dimaklumin ya gess 🙏
Kalok ada komentar atau saran boleh langsung ke kolom komentar 🥰🥰🥰
Janganlupa vote nya juga biar autor semangat upload nya 

Dinginnya Cinta (ENGLOT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang