O3; two choice

299 120 135
                                    

Helaan nafas kasar menjadi suara pertama yang terdengar di dalam lounge pribadi milik Monsieur, Celio yang sedang membaca buku-buku tebalnya reflek menoleh pada laki-laki berkemeja biru yang baru saja menghempaskan diri untuk duduk di single sofa di tengah ruangan.

Pemuda berkulit putih nyaris sewarna salju itu mengernyitkan dahi, masih memantapkan atensinya kala Arinda ikut menyusul masuk, diekori oleh Mario, Haidar, dan Areska yang juga datang kesini.

"Lo pada kenapa?" tanya Celio mengudara, penasaran kenapa raut wajah semua orang terlihat kurang menyenangkan. Terutama Juan yang wajahnya merah padam, salah satu pertanda kalau pemuda itu sedang emosi. Entah salah tingkah, atau marah—untuk sekarang menurut Celio, kali ini wajah Juan merah padam karena amarah.

Tak ada yang menjawab, semuanya kompak diam. Hanya saja Arinda duduk di bantalan samping kanan sofa yang diduduki Juan, gadis berambut panjang yang ujungnya di-stylist ikal tersebut menyandarkan diri, kemudian tanpa ijin langsung memeluk Juan dari samping.

"Enggak masalah, kamu boleh kesel," sahut Arinda mengindahkan pertanyaan Celio yang belum mendapat jawaban jelas, ia sibuk mengelus bahu kokoh Juan, "Aku gak nyangka bakal ada pahlawan kesiangan, cewek gak jelas yang tiba-tiba dateng narik Friska. Harusnya Friska udah mati kalo gak ada dia kan, Sayang?"

Celio—sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran kontan membelalakkan kedua matanya mendengar itu, "Hah? Bentar? Lo ngomongin apa? Mati? Siapa yang mau mati?"

Juan seketika menoleh dengan pandangan tajamnya itu ke Celio, "Enggak usah mau tau, itu urusan gua."

Areska geleng-geleng kepala, Mario menghela nafas, sedang Haidar hanya diam memperhatikan. Sementara Celio yang mendapat jawaban kurang enak didengar itu merasa kebingungan, ia menoleh kepada tiga temannya yang lain tetapi ketiga orang itu serentak melengos.

"Ya, intinya Juan lagi buat perhitungan sama orang." Arinda bersuara, sepertinya berniat menjelaskan, "Rencana Juan udah hampir berhasil, eh malah digagalin cewek gak jelas. Kesel gak lo dengernya?"

Bukannya mendukung pernyataan Arinda, Celio sendiri langsung berkacak pinggang, "Lo berdua rencananya apaan? Mainan nyawa orang?"

"Gua bilang bukan urusan lo, enggak perlu tau," balas Juan.

Areska dan Haidar saling tatap, sejujurnya mereka tahu perdebatan yang tiba-tiba terjadi ini tak akan selesai dengan baik.

"Urusan gue lah." Celio menaikkan sebelah alisnya, "Gue pernah bilang, gue gak peduli mau lo berbuat apa pun sama semua orang yang ngusik lo, asal jangan sampe jadi pembunuh. Nyawa itu penting, cuma satu dikasih Tuhan, harus dijaga baik-baik, nyawa bukan mainan, Lakeswara."

Juan berdecih, terkekeh pelan, "Gua cuma mempermudah mereka ketemu Tuhan, biar dosanya di dunia ini gak makin numpuk. Pengkhianat gak pantas dikasih nyawa."

"Lo gak takut masuk penjara, Bro?"

"Tinggal tutup pake duit, selesai."

"Orang gila," ujar Celio geleng-geleng kepala. Ia berbalik badan berganti menatap Mario dan dua orang yang berada tak jauh darinya, "Lo bertiga gak ada yang ngelarang Juan? Dukung-dukung aja temen lo mau jadi pembunuh."

"Gue kira lo sendiri udah ngerti alasannya, Cel." Areska mendengus, "Kayak dia mau denger aja."

Celio menyipitkan mata, "Biar gue tebak, masalah kemarin?"

Titik JenuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang