8|| Rasa Penasaran

105 19 4
                                    

Erine kembali melirik Leon dengan tatapan penuh selidik. Ada rasa kesal sekaligus penasaran yang tak bisa ia tahan. "Kakak mau ngomong apa? Ada apa dengan generasi 12?" tanyanya tajam, nada suaranya menuntut jawaban.

Leon, yang sedari tadi mengemudi dengan sikap santai, hanya melirik Erine sekilas sebelum kembali menatap jalan. Alih-alih langsung menjawab, dia justru membalas dengan pertanyaan lain. "Kenapa dengan generasi 12?" Dari ekspresinya menunjukkan kalau dia heran,

"Hah?! Bukannya tadi Kakak bilang ada hal penting yang mau diomongin? Tentang generasi 12!" Erine memicingkan matanya, menatap Leon dengan ekspresi seperti seorang detektif yang baru saja memergoki tersangka.

Leon pura-pura merenung sejenak, lalu menjentikkan jarinya. "Oh, itu. Hmm... nggak jadi, deh. Kapan-kapan aja," jawabnya dengan nada acuh, seolah hal itu sama sekali tidak penting.

Bibir Erine berkedut, tanda bahwa kesabarannya sudah di ujung tanduk.

Apa-apaan sih orang ini? pikirnya.

Dalam benaknya, Leon adalah gabungan dari seribu teka-teki yang tidak ada petunjuknya. Tingkah lakunya sulit ditebak, ucapannya sering membingungkan, dan sikapnya selalu berubah-ubah.

Erine mendengus pelan. "Kak, serius deh. Tadi bilangnya penting banget. Sekarang malah nggak jadi. Maksudnya apa, sih?"

Leon menyeringai kecil, sudut bibirnya terangkat seperti seseorang yang menyimpan rahasia besar. "Santai, Catherina. Tidak semua hal perlu dibahas sekarang. Lagipula, ini bukan sesuatu yang mendesak," katanya sambil mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jarinya, menciptakan irama yang seolah mempermainkan rasa penasaran Erine.

"Kak!  Tau gitu aku gak ikut mobil kakak! Atau itu memang cuma alesan kakak doang?" kata Erine, matanya menyipit penuh kecurigaan.

"Buat apa saya beralasan?"

"Kalau gitu ngomong sekarang. Jangan bikin orang penasaran!"

Leon hanya tertawa kecil, kali ini dengan nada yang terdengar lebih seperti ejekan. "Catherina, kamu harus belajar bersabar. Beberapa hal lebih seru kalau dibiarkan jadi misteri."

Erine mengerutkan kening, merasa percakapan ini semakin aneh. Dia bukan tipe orang yang suka dibiarkan menebak-nebak. "Kak, generasi 12 itu penting, kan? Apa ini tentang evaluasi? Atau ada masalah?" tanyanya lagi, nada suaranya lebih serius.

Leon akhirnya menghela napas panjang, seolah-olah dia menyerah pada kegigihan Erine. Namun, alih-alih menjawab dengan jelas, dia malah berkata dengan nada santai, "Kamu tahu nggak, generasi 12 itu generasi yang spesial. Kalian punya potensi besar, tapi... kalian juga sangat keras kepala. Termasuk kamu."

Erine langsung menegakkan punggungnya, merasa seperti sedang dihakimi. "Maksud Kakak apa? Jangan-jangan ini soal aku ya?"

Leon meliriknya sebentar, lalu tersenyum tipis. "Bukan cuma soal kamu. Tapi kamu memang salah satu contohnya."

Erine membuka mulut untuk membalas, tapi langsung menutupnya lagi. Ia tidak tahu harus merasa marah, bingung, atau penasaran. Apa sebenarnya maksud Leon? Kenapa malah gak jelas gini.

Di sisi lain, Leon merasa puas melihat reaksi Erine. Baginya, bermain-main dengan rasa ingin tahu gadis itu adalah hiburan tersendiri. Dia tahu Erine tidak akan berhenti bertanya sampai dia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tapi untuk saat ini, Leon memutuskan untuk tetap menyimpan rahasianya. Baginya, ada hal-hal yang lebih menarik jika dibiarkan menggantung—terutama jika itu melibatkan seseorang seperti Erine, yang selalu berusaha keras untuk memahami keadaan. Seperti bagaimana dia memahami teman-temannya.

Namun, dibalik senyuman santainya, ada sesuatu yang serius di benak Leon. Generasi 12 memang spesial, tapi juga rentan. Ada banyak tekanan, banyak harapan, dan mungkin... banyak masalah yang sedang menunggu di depan. Tapi itu cerita untuk lain waktu. Sekarang, dia lebih menikmati melihat bagaimana Erine mencoba memecahkan teka-teki yang ia ciptakan sendiri.

Melewati Batas ||ORINE||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang