3|| Injakan Kaki

83 20 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang pikiran Leon tidak tenang. Bayangan gadis remaja yang belum lama menginjak usia 17 tahun itu menangis melayang bebas dalam kepalanya.

Saat lampu merah menyala, Leon menekan pelipisnya dengan jari-jari tangan, berharap bisa mengusir kekacauan yang terus berputar di kepalanya. "Kenapa aku melakukannya?" pikirnya penuh kebingungan.

Apa yang ada dalam dirinya hingga bisa melakukan hal yang begitu impulsif dan tak terduga? Kenapa dia mencium gadis itu?

Dia tahu itu salah. Sangat salah. Gadis itu masih terlalu muda—terlalu rapuh untuk tindakan seperti itu. Leon sudah cukup berpengalaman untuk tahu bahwa kalau itu adalah wanita dewasa, mungkin dia tak akan terperangkap dalam pertanyaan seperti ini.

Namun kenyataannya tidak demikian. Ini gadis belia, yang masih seumur jagung dalam dunia yang sebenarnya dan emosi yang belum sepenuhnya matang.

Leon menggigit bibirnya, seolah menahan amarah terhadap dirinya sendiri. "Huh," desahnya, marah pada dirinya sendiri. "Jika pak tua itu tahu... Aku bisa digantung," katanya dalam hati, merasakan kilatan kekhawatiran yang menyusup. Seperti sebuah beban moral yang berat di pundaknya. Dan bayangan sang kakek, seseorang yang lebih berkuasa, terus menghantui setiap langkahnya.

Seiring dengan suara mesin mobil yang bergema di dalam kabin, Leon bertanya-tanya, "Apa aku harus minta maaf?" Hati kecilnya berbisik bahwa dia harus menebus kesalahannya, bahwa minta maaf adalah langkah yang benar. Namun, ada sesuatu yang menghalanginya. Sesuatu yang tidak bisa disebutkan dengan kata-kata, tapi ada di sana—sebuah rasa malu, kebanggaan yang terluka, atau mungkin ketakutan bahwa permintaan maaf itu tidak akan mengubah apa pun.

"Hah, bodoh," gumamnya lagi, kali ini dengan nada penuh penyesalan. Tetapi entah kenapa, kata-kata itu terasa tidak cukup untuk melepaskan diri dari perasaan bersalah yang semakin menekan. Dia tahu dirinya tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tapi hatinya seolah menjerit, menginginkan jalan keluar dari kekacauan batinnya.

Di sudut ruangan latihan yang masih sepi, Erine duduk termenung di atas lantai, membiarkan pikirannya terbang pada kejadian yang menimpanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di sudut ruangan latihan yang masih sepi, Erine duduk termenung di atas lantai, membiarkan pikirannya terbang pada kejadian yang menimpanya. Kata-kata Leon, tatapan tajamnya, dan yang paling mengejutkan, ciuman singkat itu terus berputar di kepalanya, seolah tidak memberinya ruang untuk bernapas.

Sebuah perasaan yang begitu asing menjalari hatinya—kesal, marah, bingung, bahkan sedikit takut. Bagaimana bisa dia begitu saja menciumnya? Apa maksud dari semua itu?

"Erine! Kamu baik-baik saja, kan?" suara Delyn memecahkan lamunannya, membuat Erine terlonjak sedikit.

"Oh, maaf, Del. Aku lagi... ya, banyak pikiran," jawab Erine dengan senyum kecil yang dipaksakan.

"Kamu gak dengerin aku dari tadi, kan?" Delyn mendesah, lalu duduk di sebelahnya, bersandar "Aku gak tega ngeliat Lily, dia semakin takut sama Kak Leon. Kemarin Moreen juga sampai nangis lagi malamnya, gara-gara dimarahi itu. Semua orang jadi gak nyaman, pada takut berlebih. Akupun juga gitu.. Suasananya jadi tegang terus, semua jadi serba salah."

Melewati Batas ||ORINE||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang