Bab 4: Ibu

1 0 0
                                    

"Kenapa mimpinya panjang sekali?" batinku.

Aku memainkan sepatu pantofel hitam lusuh di kaki kananku. Debu kering yang bergumul dengan udara panas pertengahan tahun menerpa tubuhku. Jam kerja telah berakhir, semua karyawan sudah pergi satu per satu. Tinggal diriku yang masih bingung dan tidak tahu harus kemana. 

"Mbak Anya nunggu siapa, kok belum pulang?" sapa Pak Arif, Kepala Satpam di pabrik.

Aku menoleh ke arahnya yang sedang membawa segelas kopi panas. Wajah ramah kebapakannya membuatku sedikit tenang kali ini.

"Pak Arif," aku menghentikan kalimat yang ingin kuusulkan, ragu harus memulai dari mana mengutarakan seribu pertanyaan yang bergumul dalam benak. "Kalau mimpi panjang banget itu gimana sih pak cara bangunnya?"

"Ahh, Mbak Anya ini pertanyaannya aneh-aneh saja. Kalau saya, dengar istri saya teriak-teriak ya langsung kebangun, Mbak. Apalagi sambil banting-banting panci, wes... saya mati juga hidup lagi, Mbak." Laki-laki itu menutup kalimatnya dengan tawa yang renyah.

Tangan kananku menyelipkan rambut pada telinga sambil memilin kedua bibir. Mungkin aku terlalu putus asa.

"Memangnya Mbak Anya semalam mimpi apa toh?" tanyanya dengan gestur yang ramah khas orang Jawa Tengah.

Seingatku, beliau memang berasal dari Solo dan menikah dengan warga sekitar pabrik yang kebetulan masih keponakan Pak Lurah. Dan karena itu, Pak Arif mendapat posisi sebagai kepala Satpam sebagai jatah penyerapan tenaga kerja warga sekitar pabrik. Tentunya ini bukan hal aneh lagi. Setiap Kepala desa yang di wilayahnya didirikan pabrik, maka akan mendapat jatah porsi penyerapan tenaga kerja untuk warga di sekitar pabrik tersebut. Sayangnya, hal ini kerap dijadikan sebagai lahan bisnis abu-abu. Miris.

Aku hanya meringis menyikapi pertanyaan Pak Arif.

"Mba Anya nggak pulang? Sini saya seberangin!" Pak Arif menoleh ke arah jalan raya di sisi kiri, kemudian memberiku aba-aba agar segera menyeberang. "Ayo, Mbak!"

Spontan saja aku langsung menuruti perintahnya untuk menyeberang, diikuti dengan Pak Arif yang ikut menyeberang bersamaku. Kemudian laki-laki gagah itu menyetop sebuah angkutan umum yang biasa kutumpangi dulu saat pulang kerja. Aku ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi, namun kenapa semua terasa begitu nyata.

"Silakan Mbak Anya!" katanya. Kemudian laki-laki itu entah bicara apa pada kernet angkutan yang membukakan pintu untukku. Aku pun bergegas masuk tanpa tahu tujuanku selanjutnya.

"Warung biru, Mbak?" tanya kernet yang usianya terlihat baru lulus SMA. Kaos dekil yang ia kenakan bergerak melambai-lambai terkena angin dari jendela pintu di sampingnya. Aku melirik topi kumal yang ia pasang terbalik. Kemudian baru menyadari bahwa tangannya tengah menadah menunggu uang ongkos angkutan dariku.

"Oh iya," jawabku sambil terkejut. 

Aku segera membuka tote bag merah yang sudah kubawa bersamaku. Entah kenapa tanganku begitu saja menyodorkan selembar uang seribu padanya. Kernet itu menerimanya dan menumpuknya bersama uang-uang kertas lain di tangannya. Sungguh pemandangan yang sudah lama sekali tak pernah kutemui.

"Warung biru kiri!" teriak kernet itu tiba-tiba.

Angkutan umum yang kutumpangi pun segera berhenti dan seakan memaksaku untuk segera turun. Kuembuskan napas berat sepeninggal angkutan yang asap kenalpotnya sehitam jelaga. Mataku segera menatap gapura biru di hadapanku. Semua ingatan silam perlahan-lahan muncul dan berbisik agar aku segera melangkah menjamahnya. Kuikuti kata hatiku kali ini.

Aku berjalan menyusuri gang biru di mana rumah tinggalku dulu bersama Ibu dan adik laki-lakiku. Satu-satunya harapanku yang tersisa adalah bisa bertemu dengan mereka sekali pun ini hanyalah mimpi semata. Kalau diingat-ingat, sepertinya aku sudah lama tak bermimpi tentang mendiang Ibu juga adikku.

Mr. Kim, Annyeong!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang