22

13.8K 537 8
                                    

Siang itu, Cassandra tersentak bangun dengan pandangan yang buram dan pikiran yang masih berserakan. Sinar matahari menembus jendela kamar yang setengah terbuka, menyentuh wajahnya dengan kehangatan yang tajam, namun sama sekali tak memberinya kenyamanan. Justru, seluruh tubuhnya terasa memberontak. Setiap inci otot seperti menjerit dalam diam, sendi-sendinya kaku, berdenyut perih, menyisakan sensasi nyeri yang tak bisa diabaikan.

Kepalanya sedikit berdenyut, vaginanya terasa begitu nyeri, pantat dan payudaranya perih, dan wajahnya terasa kebas. Rasa sakit itu membuatnya menggigit bibir, menahan diri untuk tidak mengerang. Seluruh otot seakan enggan menuruti kehendaknya, namun dengan sisa kekuatan yang ada, ia bangkit perlahan dari ranjang, mencoba memfokuskan pandangannya di ruangan yang terasa begitu sunyi. Tak ada siapa pun di sana, hanya tembok yang membisu, seolah menyembunyikan sesuatu yang berat.

Langkah kakinya tertatih menuju kamar mandi. Di depan cermin, ia terdiam. Sosok di balik pantulan itu tampak asing, sorot matanya pudar, senyumnya hilang entah ke mana. Beberapa bagian tubuhnya terlihat membiru. Dengan napas panjang, ia memutuskan untuk berendam. Air hangat perlahan menyelubungi tubuhnya yang dingin, mencoba mengurai pikiran yang berantakan. Hanya gemericik air yang menemani keheningan, seolah-olah dunia di luar sudah tak ada lagi. Tiga puluh menit berlalu, dan ia pun beranjak, berdiri di bawah shower, membiarkan air mengguyur tubuhnya.

Tangan Cassandra bergerak tanpa ampun, menggosok setiap inci kulitnya dengan keras, berharap semua yang menyakitkan itu bisa terhapus, hilang bersama air yang mengalir. Namun, jejak-jejak Leo terasa melekat, tak bisa begitu saja luruh. Setelah merasa puas, ia membungkus diri dengan handuk, melangkah menuju kamar.

Di nakas samping tempat tidurnya, nampak makanan yang sudah disediakan. Cassandra duduk dan makan dalam keheningan, tak peduli apa pun di sekitarnya. Setiap suapan dimakannya dengan lahap, seakan-akan ia tak pernah makan selama berhari-hari. Kekenyangan akhirnya membuat tubuhnya sedikit lebih rileks, namun pandangannya tetap kosong.

Dari jendela, ia menatap danau yang terhampar luas di kejauhan, dikelilingi pepohonan rimbun yang memayungi tepinya. Pemandangan itu indah, begitu damai. Perlahan ia mencoba pintu kamarnya dan, mengejutkan, pintu itu tak terkunci.

Cassandra berjalan pelan menelusuri lorong panjang. Rumah itu begitu luas, dingin, dan terasa asing baginya. Tiap sudutnya tak berjiwa, seolah bukanlah tempat tinggal, melainkan penjara. Tak ada pelayan, tak ada siapa pun. Hanya dirinya dan... Leo. Pria itu seperti bayang-bayang, selalu ada namun tak pernah benar-benar terlihat.

Langkahnya mengarah ke danau. Ia menyusuri jalan setapak, dan duduk di tepi air, memandang pantulan langit senja di atas permukaan yang tenang. Waktu berlalu tanpa terasa, matahari mulai tenggelam, dan gelap merambat perlahan. Tiba-tiba, suara mobil menggerung memecah keheningan. Cassandra tahu itu Leo, namun tak ada niat untuk bergerak, bahkan menoleh pun tidak.

Leo datang dengan kantong belanja di tangannya—bahan makanan, perlengkapan mandi, dan entah apa lagi. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, mengisyaratkan agar Cassandra ikut masuk ke rumah. Cassandra bangkit dan mengikuti tanpa perlawanan, seolah-olah jiwanya telah menyerah. Ia menyadari, melawan hanya menguras energi sia-sia.

Di dapur, Cassandra duduk di counter, memperhatikan Leo memasak. Keduanya terdiam. Keheningan menyelimuti ruangan, hingga akhirnya Cassandra membuka mulut, suaranya kecil dan lemah, "Maafkan aku, Leo. Aku tidak akan mencoba untuk kabur lagi." Leo berhenti sejenak, menatapnya tanpa ekspresi, kemudian kembali sibuk dengan masakannya.

Dengan suara hampir berbisik, Cassandra meminta, "Bolehkah aku meminta satu hal terakhir?" Leo hanya menaikkan alis tanpa menjawab, membuat Cassandra merasa kecil. "Aku ingin bertemu keluargaku... aku ingin meminta maaf kepada mereka, atas semua ini." Tangannya sedikit gemetar. Namun, Leo menghentikan aktivitasnya. Dia tak langsung menjawab, hanya mengamati Cassandra, hingga tiba-tiba berkata, "Menikahlah denganku, jika begitu."

Hening. Hanya itu yang tersisa. Cassandra tak menjawab, pikirannya tenggelam dalam konflik batinnya yang tiada habis. Tiba-tiba aroma makanan mengisi udara, mengalihkan lamunannya. Leo menyajikan makanan di hadapannya, dan mereka makan bersama dalam diam.

Usai makan, Leo membereskan piring dan menyuruhnya untuk mandi. Cassandra kembali ke kamar, membersihkan diri, mencoba mengusir rasa lelah yang merayap ke seluruh tubuhnya. Ketika ia sedang mengeringkan rambut di depan meja rias, Leo masuk membawa salep. Tanpa berkata, Leo mendekat dan mengambil alih pengeringan rambutnya. Setelah selesai, ia menuntunnya ke ranjang, lalu mulai mengoleskan salep pada luka-luka di tubuh Cassandra. Sentuhan itu membuat Cassandra meringis, namun ia diam saja, menerima perlakuan itu dengan pasrah.

Setelah selesai, Leo menyelimutinya dan pergi ke kamar mandi. Tak lama kemudian, suara air terdengar. Cassandra memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu.

Beberapa menit kemudian, Leo keluar dengan rambut basah dan handuk melilit pinggangnya. Ia mengenakan celana joger tanpa atasan, lalu berbaring di sebelah Cassandra. Leo memeluknya erat, seakan ia adalah satu-satunya hal yang ia miliki. Tapi bagi Cassandra, pelukan itu hanyalah penjara lain, rantai yang tak kasat mata, mengurung jiwanya dalam kepasrahan yang dingin.

Prigioniera (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang