Mozaik 03 : Anuskha Gulbatira

10 3 19
                                    

🍂🍂

Semenjak kecil, Azzar merasa Rohan tak pernah bangga memiliki dirinya. Setiap kali mereka bertemu dan memandang satu sama lain, ia tidak menemukan wajah dan senyum manisnya terpantul di mata sang ayah. Tidak ada percikan antusiasme di bola mata hitam itu. Azzar merasa Rohan tak pernah benar-benar ingin bertemu dengannya. Bahkan duduk dan mengobrol bersama.

Hanya mata yang dingin dengan bibir yang mengeras. Hanya ekspresi itu yang selalu ditampakkan Rohan di depan anak-anaknya.

Sering kali, Azzar berusaha menyenangkan Rohan dengan belajar giat dan memamerkan nilai ujian yang tinggi kepada sang ayah. Namun, tersenyum pun Rohan tidak.

Selalu ... mata yang dingin.
Bibir yang mengeras.

Ekspresi yang telah membeku.
Seperti orang mati.

Hidup, tapi tak bernyawa.

Lantas, jika Azzar tak mendapatkan perhatian dari sang ayah. Maka, ia mulai mencari hal lain untuk mengisi kekosongan tersebut.

Dan hal itu jatuh pada melukis.

"Bagus sekali lukisannya," puji Parissa Arryan dengan senyum di bibir dan mata yang menyiratkan kehangatan. Ia merangkul Azzar kecil, cucu laki-lakinya. Sambil membungkuk, ia mengambil kertas mungil yang digenggam Azzar, lalu tersenyum lagi. "Sepertinya bakat seniku menurun padamu."

Itu bukan lukisan yang bagus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Itu bukan lukisan yang bagus. Azzar menyoroti gambar dua bocah, laki-laki dan perempuan yang sedang bermain bola di bawah sinar matahari. Garisnya masih kurang tegas. Pewarnaannya tidak penuh. Dan, astaga, kedua badan mereka seperti tengkorak!

Sungguh, lukisan pertama dari seorang pelukis selalu menjadi lukisan yang paling buruk.

Akan tetapi, sedikit pujian telah menyiram kekeringan jiwa Azzar. Ia yang haus pun, merasa segar. Bersama sang nenek, Parissa, ia percaya apabila ia terus berlatih, maka suatu saat kualitas lukisannya akan membaik.

"Apakah Oma pikir aku akan menjadi pelukis yang hebat?" Azzar bertanya dengan seribu satu harapan bersinar di kedua mata hitamnya.

Parissa menopang telapak tangan di dagu. Senyumnya selalu memancar setiap kali ia bicara.

"Kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau jika kamu percaya kamu bisa meraihnya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meet Me In Grad GubaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang