1

4 1 0
                                    


Happy reading!!


_____________________________________


Rak-rak tinggi penuh buku membentuk lorong-lorong kecil yang tenang di dalam toko. Aroma khas kertas menyapa setiap pengunjung, menghadirkan kedamaian yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk kota. Di salah satu lorong, Naura Lenne berdiri, mengamati judul-judul buku dengan tatapan yang tampak kosong. Di tangannya tergenggam sebuah novel dengan sampul yang usang, seakan membawanya kembali pada kenangan yang tak ingin ia akui masih mengusik hatinya.

Langkah-langkah berat terdengar mendekat, memecah keheningan. Namun, Naura terlalu tenggelam dalam pikirannya hingga tak menyadari kehadiran seseorang di dekatnya. Sampai suara itu terdengar, suara yang nyaris membuat bukunya terlepas.

"Naura."

Naura membeku. Suara itu... suara yang pernah begitu akrab, begitu hangat, kini terdengar dingin dan jauh. Perlahan, ia menoleh, dan di sana, berdiri Sakha Fenric. Dengan jaket kulit hitam dan rambutnya yang sedikit berantakan, dia terlihat persis seperti yang terakhir kali Naura ingat—hanya saja, sorot matanya kini lebih tajam, lebih gelap.

Sakha memandang Naura tanpa ekspresi yang jelas, tetapi ada ketegangan di rahangnya yang menandakan perasaan terpendam. "Masih suka menyendiri di tempat seperti ini?" tanyanya, nada suaranya datar, hampir seperti tuduhan.

Naura menarik napas dalam, mencoba menjaga ketenangannya.

"Dan kau? Aku tidak tahu pemain bola suka datang ke toko buku" jawabnya tanpa emosi, meskipun dadanya bergetar hebat.

Sakha menyilangkan tangannya, mengamati Naura dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Aku tidak. Tapi kalau tahu kau di sini, mungkin aku akan lebih sering datang."

Naura tertawa kecil, tawa yang lebih terdengar seperti ejekan. "Masih pandai bicara, ya. Sayang sekali, aku sudah tak tertarik mendengarnya."

"Benarkah?" Sakha melangkah lebih dekat, membuat Naura tanpa sadar mundur satu langkah.

"Karena dari caramu menatapku sekarang, sepertinya kau belum benar-benar melupakanku."

Naura mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk membalas dengan kata-kata yang lebih tajam.

"Tidak semua orang punya waktu untuk memikirkan masa lalu, Sakha. Beberapa dari kita memilih untuk... melanjutkan hidup."

Sakha tersenyum tipis, senyum yang menyakitkan untuk dilihat. "Bagus kalau begitu. Karena aku tidak di sini untuk mengganggumu. Aku hanya ingin tahu... apakah kau masih membaca buku-buku itu."

Naura menatap buku di tangannya dan tiba-tiba merasa terpojok. Buku itu, tanpa disadarinya, adalah salah satu yang pernah mereka baca bersama—sebuah kebetulan yang terlalu ironi untuk diabaikan. "Itu bukan urusanmu," katanya singkat, lalu meletakkan buku itu kembali ke rak dengan sedikit kasar.

Ia berbalik hendak pergi, tetapi Sakha memanggilnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, hampir seperti bisikan. "Naura..."

Langkah Naura terhenti, tetapi ia tidak menoleh. "Apa lagi, Sakha?"

Hening sejenak sebelum Sakha menjawab, suaranya terdengar rendah dan pelan. "Aku hanya ingin tahu... apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu, sesederhana apapun, membuat hati Naura mencelos. Ia tidak ingin menjawab, tetapi kata-kata itu tetap keluar dari bibirnya. "Aku baik-baik saja. Dan kau tidak perlu peduli."

Naura melangkah pergi, meninggalkan Sakha yang hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Di balik sikap dinginnya, Sakha merasakan sesak yang tak bisa dijelaskan. Ia tahu, ada banyak hal yang tidak bisa selesai hanya dengan satu pertemuan. Tapi melihat Naura lagi, bahkan hanya untuk beberapa menit, sudah cukup untuk membuatnya sadar bahwa perasaannya belum benar-benar pergi.

Di sisi lain, Naura bergegas keluar dari toko buku itu dengan perasaan campur aduk. Ia menggenggam tasnya erat, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Namun, ia tidak bisa menepis kenyataan bahwa, setelah semua waktu yang berlalu, hanya mendengar suara Sakha sudah cukup untuk mengguncang dunianya kembali. Keputusan mereka, mungkin sangat melukai keduanya, meskipun awal nya mereka mengira mereka akan baik-baik saja dan itu keputusan yang tepat, namun justru semakin waktu berlalu rasa itu masih tetap ada dan tetap berhasil mengobrak-abrik pertahanan keduanya.

Her Words, His GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang