Bagian #4

1 1 0
                                    







Hari-hari Naura berlalu dengan kesibukan yang sama. Pagi-pagi ia sudah tenggelam di depan laptop, menyelesaikan bab-bab terakhir dari novel barunya. Cerita yang sedang ia tulis sedikit banyak terasa personal—tentang cinta yang hilang, tentang rindu yang tidak terucap. Setiap kata yang ia ketik seolah membawa sebagian dari perasaan yang masih ia pendam, tetapi ia tidak ingin mengakuinya.

Sore itu, pesan dari ibunya muncul di layar ponselnya:

"Naura, pulanglah hari ini. Ayahmu ingin makan malam bersama."

Naura tersenyum kecil, lalu membalas pesan itu dengan singkat,

Baik, Bu, aku akan pulang setelah pekerjaan ku selesai.”

Pulang ke rumah orang tua selalu menjadi rutinitas yang menenangkan. Sang ayah, seorang sastrawan yang dihormati, selalu punya waktu untuk mendengarkan ide-ide Naura. Meski berbeda dunia—Naura di fiksi modern, dan sang ayah dalam sastra klasik—dukungan ayahnya adalah salah satu alasan mengapa Naura bisa bertahan di dunia tulis.

Malam itu, ketika makan malam, ayah Naura menatap putrinya dengan penuh kebanggaan. "Bagaimana dengan novel barumu? Sudah hampir selesai, kan?"

Naura mengangguk sambil tersenyum. "Masih ada sedikit revisi, tapi aku sudah hampir selesai."

"Bagus" jawab sang ayah. "Kau tahu, sastra tidak hanya soal bentuk atau genre. Yang penting adalah bagaimana kau menyampaikan sesuatu yang bermakna. Aku yakin kau melakukannya dengan baik."

Di sisi lain meja, ibunya menyela. "Tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Naura. Ingat makan dan istirahat yang cukup."

Naura hanya tertawa kecil, bersyukur atas perhatian sederhana itu.

---

Sementara itu, di rumah yang cukup mewah di pinggiran kota, Sakha menjalani hidupnya yang penuh rutinitas. Hari-harinya dipenuhi dengan latihan, jadwal pertandingan, dan kehadiran adik perempuannya, Keira, yang selalu memastikan kakaknya tidak terlalu sibuk untuk hal-hal lain.

Keira, seorang mahasiswi seni rupa, sangat dekat dengan Sakha. Mereka hanya berdua sejak kepergian orang tua mereka beberapa tahun lalu. Malam itu, setelah makan malam, Keira duduk di sofa sambil menggambar sesuatu di sketchbook-nya. Sesekali ia melirik kakaknya yang sedang menatap layar TV dengan pandangan kosong.

"Kak" panggil Keira akhirnya, memecah kesunyian.

"Hmm?" Sakha menoleh.

"Kenapa akhir-akhir ini kau sering terlihat... entahlah, berbeda?"

Sakha tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab.

"Ini soal Naura, ya?" Keira langsung menebak, tanpa ragu.

Sakha menghela napas panjang. "Keira, kita sudah membahas ini berkali-kali."

"Tapi aku tahu kau belum benar-benar melupakan dia," balas Keira.

"Setiap kali kau menceritakan tentang dia, aku bisa merasakan kalau kau masih... rindu."

Sakha terdiam. Kata-kata adiknya selalu punya cara untuk menembus pertahanannya.

"Aku tidak tahu, Keira" gumamnya akhirnya. "Mungkin aku memang rindu. Tapi aku juga tahu bahwa dia tidak ingin aku ada di hidupnya lagi. Dia sudah membuat itu jelas."

Keira menatap kakaknya dengan penuh simpati. Ia tahu betapa dalam perasaan Sakha terhadap Naura, meskipun kakaknya selalu berusaha menutupi dengan sikap dingin dan ego yang sulit dilunakkan.

"Kadang, aku berharap kalian bisa memperbaiki semuanya" ujar Keira pelan. "Kau tahu, Kak, cinta itu tidak selalu tentang siapa yang salah atau benar. Kadang, yang penting adalah siapa yang berani mencoba lagi."

Her Words, His GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang