Namaku Asep, 17 tahun, anak seorang guru Sejarah yang kebetulan tinggal di lingkungan sekolah di sebuah SMA di Bandung. Kalau dibilang hidupku sederhana, ya benar. Tapi aku nggak pernah merasa itu masalah. Aku tinggal di rumah kecil yang menempel di bagian belakang sekolah, tepat di sebelah gudang tua yang mungkin sudah dilupakan semua orang. Bagi siswa-siswa lain, tempat itu dikenal angker. Katanya ada penampakan, ada suara-suara aneh, ada bayangan yang suka jalan sendiri. Tapi bagiku, gudang itu adalah tempat main terbaik yang pernah ada.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa masuk ke gudang itu. Dulu, aku cuma anak kecil penasaran yang senang melihat tumpukan barang-barang lama yang entah kenapa menarik buatku. Komputer tua, kipas rusak, radio jadul—semuanya selalu bisa jadi bahan mainan. Awalnya cuma iseng bongkar pasang, tapi lama-lama aku belajar cara memperbaikinya.
Sore itu, setelah jam sekolah selesai, aku berniat langsung menuju gudang seperti biasa, bahkan tanpa sempat mengganti seragam sekolahku. Aku buru-buru karena ada komputer tua yang sedang aku rakit yang sudah hampir selesai, dan aku tinggal membersihkan beberapa bagian kecilnya sebelum mencoba menghidupkannya. Aku melewati ruang tamu, di mana ayah sedang asyik menonton acara komedi favoritnya. "Pamit, yah," kataku singkat. Ayah hanya melambaikan tangan sambil tertawa karena lawakan di TV.
Masuk ke gudang rasanya seperti masuk ke dunia kecilku sendiri. Udara di sana berbau debu dan karat, tapi itu justru yang membuatku merasa nyaman. Tumpukan barang-barang tua seperti membentuk labirin kecil, dengan jalur sempit yang hanya aku yang hafal. Lampu di gudang itu sudah lama mati, jadi aku membawa senter kecil yang selalu siap di saku celanaku.
Sambil berjalan ke pojok tempat komputerku berada, aku bersenandung pelan. Aku merasa seperti seorang penjelajah yang sedang menuju "harta karun." Di atas meja kayu tua, komputer itu berdiri. Monitor CRT besar yang penuh goresan, CPU yang hampir nggak ada casingnya, dan keyboard dengan beberapa tombol hilang. Tapi bagiku, ini lebih dari cukup.
"Nah, sudah hampir jadi!" gumamku sambil tersenyum puas. Aku menyambungkan beberapa kabel terakhir, lalu membersihkan debu dari tombol-tombol keyboard. Sekarang saatnya mencari colokan listrik untuk mencoba menghidupkannya.
Aku menyapu pandangan ke sekeliling gudang. Ada satu colokan yang terlihat, tapi terlihat sudah gosong. Aku pun melangkah ke sudut lain gudang, di mana aku melihat sebuah benda besar tertutup kain hitam. Di belakang benda itu ada colokan yang sepertinya masih bagus.
Aku mencoba menggeser benda besar itu, tapi ternyata berat banget. Dengan rasa penasaran, aku menarik kain hitamnya. Apa yang aku temukan di baliknya adalah sesuatu yang benar-benar tidak aku duga: sebuah mesin besar yang bentuknya aneh. Mesin itu seperti microwave raksasa, dengan kabel-kabel yang menjulur dari segala arah. Ada lampu-lampu kecil di beberapa bagian, dan di tengahnya ada tombol merah besar yang menyala samar.
"Ini apaan, ya?" tanyaku pada diri sendiri sambil jongkok untuk melihat lebih dekat. Tidak ada label atau tulisan apa pun di mesin itu. Aku mencoba mencari petunjuk, tapi tidak ada. Pikiranku langsung penuh dengan kemungkinan-kemungkinan: mesin eksperimen? Prototipe alat canggih? Atau cuma barang rongsokan yang belum pernah aku lihat sebelumnya?
Rasa penasaran mulai menguasai pikiranku. Aku tahu seharusnya aku berhati-hati. Tapi tombol merah itu seperti memanggilku, menyuruhku untuk menekannya. Aku ragu sejenak, tapi akhirnya jariku bergerak sendiri.
Klik.
Begitu tombol itu ditekan, mesin langsung menyala. Suaranya keras, seperti dengungan listrik yang semakin lama semakin kencang. Lampu-lampu kecil di mesin itu berkedip, dan tiba-tiba angin kencang mulai berputar di sekelilingku. Debu beterbangan, membuatku batuk-batuk.
"Apa ini?!" Aku mencoba berdiri, tapi tubuhku terasa berat. Angin semakin kencang, membuat barang-barang di gudang terlempar ke sana-sini. Kertas-kertas beterbangan, dan bahkan meja kayu tua yang biasa aku gunakan bergeser beberapa sentimeter.
Tiba-tiba, sebuah cahaya terang muncul dari mesin itu, menyilaukan mataku. Aku mencoba melindungi wajahku dengan tangan, tapi rasanya tidak cukup. Cahaya itu seperti menarik tubuhku, membuatku kehilangan keseimbangan. Sensasinya seperti naik roller coaster, tapi lebih ekstrem. Perutku terasa mual, dan kepalaku berputar.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertelan oleh angin dan suara mesin yang menggelegar. Semuanya berputar semakin cepat, dan aku merasa seperti sedang dihisap ke dalam pusaran yang tidak berujung. Terombang-ambing di putar sesuatu yang aku tidak tahu apa.
Lalu, tiba-tiba semuanya berhenti.
Aku membuka mata perlahan, berharap semua ini hanya mimpi aneh. Tapi yang kulihat malah membuatku semakin bingung. Gudang tempat aku berada masih ada, tapi tampak sangat berbeda. Barang-barang rongsokan yang biasanya berserakan hilang entah ke mana. Lantainya bersih seperti baru dipel, dan tidak ada sarang laba-laba yang biasanya memenuhi sudut-sudut ruangan.
Dengan hati-hati, aku melangkah keluar dari gudang, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Udara di luar terasa sejuk dan segar, berbeda dengan suasana pengap yang biasa kurasakan di sekitar gudang ini. Aku memandang sekeliling, mencoba mengenali tempat ini, tapi semuanya terasa sedikit... salah.
"Rumah ku... mana rumahku?" aku terkejut karena rumahku yang seharusnya berada di samping gudang ini malah menghilang. Hanya ada hamparan semak belukar yang aku lihat disana.
Dengan kebingungan aku berjalan menyusuri lorong sekolah, mataku tertuju ke lapangan. Beberapa siswa sedang bermain basket, dan aku hampir merasa lega melihat sesuatu yang terlihat normal. Tapi, tunggu sebentar. Ada yang aneh dengan seragam mereka. Seragam itu terlihat sangat rapi, tapi modelnya seperti dari masa lalu—potongan jadul yang hanya pernah kulihat di foto-foto lama keluargaku.
Aku berjalan pelan, masih bingung dengan apa yang terjadi. Langkahku membawaku ke arah papan mading di dekat lorong. Aku menatapnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan situasi ini. Di antara berbagai pengumuman yang tertempel di sana, mataku tertuju pada sebuah kalender kecil di pojok papan.
Tanganku gemetar saat membaca tulisan di kalender itu. September 1995. Aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang kulihat. September 1995? Itu berarti... aku tidak lagi berada di tahun 2023. Pikiran itu membuat dadaku terasa sesak. Aku mencoba mencari logika, tapi tidak ada yang masuk akal.
Aku mengingat mesin aneh yang kulihat di gudang tadi. Sepertinya mesin itu yang membawaku ke sini, ke masa lalu. Tapi kenapa? Dan bagaimana caranya? Aku merasa bingung, sedikit panik, tapi di saat yang sama, ada rasa penasaran. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku belum tahu apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang pasti: aku sekarang berada di tahun 1995, dan sepertinya aku harus mencari cara untuk kembali ke waktuku. Tapi apa yang harus aku lakukan?
![](https://img.wattpad.com/cover/385317011-288-k182676.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Guardian
Science FictionAsep, seorang remaja anak guru Sejarah di Bandung, secara tidak sengaja menemukan mesin waktu di gudang sekolahnya. Saat mencoba menggunakannya, ia terlempar ke tahun 1995 dan terjebak di masa lalu. Sambil beradaptasi dengan kehidupan sekolah di mas...