Aku masih berdiri mematung di depan papan mading itu, mataku terpaku pada tulisan di kalender: September 1995. Otakku seperti macet, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "1995? Ini beneran nggak sih?" gumamku sambil mundur beberapa langkah. Semua ini terlalu absurd untuk jadi nyata. Tapi saat aku melihat sekeliling—seragam siswa, suasana sekolah, hingga papan mading penuh tempelan tulisan tangan—aku tahu ini bukan mimpi.
Aku berjalan perlahan di lorong sekolah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarku. Tiba-tiba bel berbunyi nyaring, tanda jam pelajaran akan dimulai. Para siswa langsung bergerak menuju kelas masing-masing, meninggalkan lorong kosong dalam sekejap. Aku bingung. Mau ngapain? Mau balik ke gudang? Tapi aku nggak tahu cara mengoperasikan mesin waktu itu. Akhirnya, aku memutuskan untuk masuk ke salah satu kelas, berpura-pura jadi siswa "anak baru."
Saat aku berjalan menyusuri lorong untuk mencari kelas yang sepertinya aman, seseorang menabrakku dari belakang. Aku hampir jatuh, tapi untungnya aku bisa menyeimbangkan diri.
"Eh, maaf," kataku sambil berbalik.
Namun, orang yang menabrakku itu tidak menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan datar yang entah kenapa bikin bulu kudukku berdiri. Dia seorang gadis, kira-kira seumuranku, dengan rambut panjang hitam yang diikat asal. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya datar, seperti lagi kesel sama dunia.
"Kamu siapa?" tanyanya dengan nada dingin.
"Aku... eh... anak baru," jawabku dengan gugup. "Namaku Asep. Pindahan dari Ban... em... Banten."
Dia memandangku dari atas sampai bawah, seperti sedang menilai apakah aku layak ada di sekolah ini atau nggak. "Anak baru? Kok aneh banget bajumu," katanya sambil menunjuk sepatuku yang memang agak beda dari seragam siswa lainnya.
Aku tersenyum kaku, mencoba menutupi kegugupanku. "Ya, namanya juga anak baru. Belum paham aturan seragam di sini."
Dia hanya mendengus kecil, lalu berkata, "Lain kali jalan pakai mata, ya." Setelah itu, dia langsung pergi begitu saja tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya bisa menatap punggungnya, bingung antara kesal atau kagum. Gadis itu memang judes, tapi ada sesuatu yang membuatnya menarik.
"Siapa sih dia?" pikirku sambil melanjutkan langkah.
Ternyata namanya Siti, aku lihat dari nama di seragamnya. Dia siswi yang cukup pintar di sekolah ini. Selain itu, dia juga dikenal dingin dan jarang berbicara dengan siapa pun. Kebanyakan siswa menganggapnya galak, tapi bagi sebagian orang, sikapnya justru bikin penasaran.
Setelah kejadian di lorong tadi, aku mengikuti Siti dari jauh, berharap bisa menemukan kelas yang "aman" untuk dimasuki. Akhirnya, aku melihat dia masuk ke sebuah ruangan dengan tulisan besar di atas pintunya: X-C.
"Yah, nggak ada pilihan lain," gumamku sambil melangkah masuk ke kelas itu. Begitu aku masuk, semua mata langsung tertuju padaku. Rasanya seperti jadi artis dadakan, tapi bukan karena mereka mengidolakan aku. Lebih ke "siapa nih anak aneh?"
Seorang siswa laki-laki dengan badan tinggi dan rambut rapi berdiri dari bangkunya. "Hei, kamu siapa?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Eh, aku Asep. Murid baru pindahan dari Banten," jawabku dengan suara sedikit gemetar. "Kursi kosong di mana ya?"
Dia menunjuk kursi di pojok belakang. "Di sana, kosong. Oh iya, aku Ridwan, ketua kelas."
Aku mengangguk dan berjalan menuju kursi itu. Sambil berjalan, aku merasa semua mata masih memperhatikan aku, seolah-olah aku ini alien yang tiba-tiba mendarat di bumi. Aku pura-pura cuek, meskipun sebenarnya aku ingin sekali menghilang dari pandangan mereka.
Saat aku duduk, aku menyadari kalau kursiku berada tepat di samping Siti. Saking gugupnya, aku tidak berani menoleh ke arahnya. Tapi, dia sepertiinya masih penasaran dengan keberadaanku. Lebih kecuriga sih kelihatannya.
Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya masuk ke kelas. Dia memakai kemeja putih yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya, dan kacamatanya tebal sekali, seperti botol kaca.
"Berdiri!" seru Ridwan, sang ketua kelas. "Salam!"
Semua siswa berdiri dan serempak mengucapkan, "Selamat pagi, Pak!"
Aku ikut berdiri dan menyapa dengan sedikit terlambat. Untungnya, guru itu tampaknya tidak memperhatikan. Setelah semua duduk, dia mulai menulis di papan tulis dengan gaya yang agak lambat. "Hari ini kita akan belajar tentang sejarah kemerdekaan Indonesia." katanya sambil membalikkan badan ke arah kelas.
Aku menghela napas lega. Setidaknya ini pelajaran yang aku tahu. Tapi masalahnya, aku tidak tahu apakah materi yang diajarkan di tahun 1995 sama dengan yang aku pelajari di tahun 2023. Aku berusaha mencatat, tapi pikiranku terus melayang ke mesin waktu di gudang. Bagaimana aku bisa mengoperasikan mesin itu? Bagaimana kalau aku terjebak di tahun ini selamanya?
Sebelum aku sempat memikirkan lebih jauh, suara Siti tiba-tiba terdengar di sebelahku dengan sedikit berbisik.
"Kamu benar-benar murid baru?" tanyanya pelan.
"Iya," jawabku singkat, berharap dia tidak akan bertanya lebih banyak.
"Kenapa tadi Pak Sanusi nggak mengenalkan kamu ke kelas?"
Aku terdiam sejenak, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Mungkin beliau lupa. Atau mungkin aku masuk di tengah semester, jadi nggak perlu dikenalkan," jawabku sambil tersenyum kecil.
Dia memandangku dengan tatapan curiga, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi kalau kamu bikin masalah di kelas ini, aku yang pertama akan melaporkanmu ke guru."
"Aku nggak akan bikin masalah," jawabku cepat. "Aku cuma ingin belajar dengan tenang."
Dia tidak menjawab, hanya mengangguk lagi lalu kembali fokus pada pelajaran. Aku merasa lega, setidaknya untuk saat ini. Tapi dalam hati aku tahu, Siti akan terus mengawasiku.
Bel Istirahat
Saat bel berbunyi tanda istirahat, aku segera keluar dari kelas, mencoba menghindari pertanyaan lebih jauh dari Siti atau siswa lain. Aku berjalan ke taman sekolah, mencari tempat yang tenang dan sepi untuk duduk menghindar dari keramaian sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Tapi saat aku duduk di bawah pohon besar, Siti tiba-tiba muncul.
"Kamu mau ngapain di sini?" tanyanya dengan nada datar.
"Aku cuma mau duduk dan menikmati udara segar," jawabku.
Dia memandangku sebentar, lalu duduk di bangku yang tidak terlalu jauh dariku. Dia membuka sebuah buku dan mulai membaca. Aku penasaran, tapi aku tidak mau mengganggunya lagi setelah kejadian di kelas tadi.
Namun, rasa penasaranku akhirnya mengalahkan rasa takutku. "Buku apa yang kamu baca?" tanyaku pelan.
Dia menutup bukunya perlahan, lalu menatapku. "Kenapa kamu ingin tahu?"
"Aku cuma penasaran. Aku suka baca juga, meskipun mungkin nggak sebagus kamu," jawabku dengan senyum kecil.
Dia tidak menjawab, hanya membuka bukunya lagi dan mulai membaca. Tapi kali ini, aku merasa dia tidak benar-benar membaca. Sepertinya dia juga penasaran dengan siapa aku sebenarnya.
***
Hari itu berakhir dengan banyak pertanyaan di pikiranku. Aku harus menemukan cara untuk memperbaiki mesin waktu itu dan kembali ke tahun 2023. Tapi di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang menarik di tahun 1995 ini—entah itu suasananya, orang-orangnya, atau mungkin... Siti.
Aku memutuskan untuk fokus pada dua hal: mencari informasi tentang mesin waktu dan mencoba lebih mengenal Siti. Karena siapa tahu, mungkin dia bisa membantuku menemukan jawaban atas semua pertanyaan ini. Karena aku butuh orang yang bisa membantuku di tempat yang asing ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Guardian
Science FictionAsep, seorang remaja anak gutu Sejarah di Bandung, secara tidak sengaja menemukan mesin waktu di gudang sekolahnya. Saat mencoba menggunakannya, ia terlempar ke tahun 1995 dan terjebak di masa lalu. Sambil beradaptasi dengan kehidupan sekolah di mas...