Sore itu, setelah berhasil meyakinkan Siti tentang kebenaran asal-usulku, aku merasa sedikit lega. Setidaknya aku tidak lagi sendirian menghadapi semua ini. Tapi rasa lega itu hanya sementara. Ketika aku duduk di pojok gudang sambil memandangi mesin waktu, aku sadar satu hal, aku dan Siti belum tahu apa-apa tentang mesin ini.
"Asep," suara Siti membuyarkan pikiranku. Dia sedang duduk di atas kotak kayu dekat pintu gudang. "Kalau benar itu mesin waktu, kenapa kamu nggak tahu cara memperbaikinya?"
Aku menatapnya, lalu menghela napas panjang. "Karena aku cuma anak SMA biasa. Aku nggak pernah belajar cara bikin mesin waktu, apalagi memperbaikinya."
Siti mengangguk pelan. "Berarti kita harus cari tahu. Tapi... di mana? Mesin ini jelas bukan barang biasa. Nggak mungkin kita tanya ke guru fisika di sekolah. Mereka pasti mengira kita gila."
Aku mengangguk setuju. "Andai saja ponsel ku gak mati. Oh iya, di tahun ini internet sudah ada gak?"
"Internet?" Tanya Siti sambil mengingat sesuatu. "Oh... Materi di pelajaran komputer minggu kemarin ya."
"Ada ya!?" Tanya ku dengan antusias.
"Gak ada. Waktu itu pak Arfan bawa materi Internet itu, tapi beliau bilang kalau di Indonesia belum merata di semua tempat, dan di sini belum bisa katanya." Jawab Siti.
"Sudah lah..." Jawabku dengan kecewa. "Jadi buku ya satu-satunya sumber informasi di tahun ini. Kamu tahu Perpustakaan yang lengkap di sini?"
Siti tersenyum tipis. "Iya ada. Perpustakaan tua di belakang pasar. Orang-orang bilang, disana koleksi bukunya lengkap, banyak menyimpan buku-buku langka lo."
Aku langsung berdiri. "Kapan kita bisa ke sana?"
"Besok saja, besok kan hari Minggu," jawab Siti. "Tapi aku ada syarat."
"Syarat apa?" tanyaku curiga.
"Setelah dari perpustakaan, kamu traktir aku bakso ya!" katanya sambil tertawa kecil.
"Ok... Itupun kalau tukang bakso nya mau terima uang 2000an yang aku punya."
Siti tertawa mendengar ucapanku. Tanpa aku sadari, aku terpana melihat nya tertawa lepas tanpa beban. Ternyata Siti punya lesung pipit di pipinya, membuat nya tambah terlihat cantik.
***
Keesokan harinya, Kami berjalan kaki melewati gang-gang kecil di belakang sekitar sekolah. Siti memimpin jalan, sementara aku mengikuti di belakang. Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan suasana kota Bandung di tahun 1995. Jalanan lebih sepi, motor-motor dua tak mendominasi, dan penjual keliling dengan gerobak kayu ada di mana-mana. Ada sesuatu yang nostalgik dari pemandangan ini, meski aku sebenarnya belum pernah hidup di era ini sebelumnya.Setelah sekitar 15 menit berjalan, kami sampai di sebuah bangunan tua dengan pintu kayu besar. Di atas pintu itu, ada papan kecil dengan tulisan "Perpustakaan Babad Loka." Siti mengetuk pintu, dan seorang pria tua membukanya.
"Selamat pagi, Pak," sapa Siti sopan. "Kami mau mencari beberapa buku untuk tugas sekolah."
Pria tua itu memandangi kami sebentar, lalu mengangguk dan mempersilakan masuk. Begitu masuk, aku langsung terpesona. Perpustakaan itu penuh dengan rak-rak kayu yang menjulang tinggi, dipenuhi buku-buku tebal dengan sampul yang sudah usang. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar di atas, menciptakan suasana yang hangat dan damai.
"Wah, keren banget," gumamku.
Siti tersenyum kecil. "Kamu suka?"
Aku mengangguk. "Ini lebih keren dari yang aku bayangkan."
Kami mulai mencari buku di rak-rak yang berbeda. Aku mencari buku yang berkaitan dengan teknologi, sementara Siti mencari buku tentang fisika dan sejarah. Setelah sekitar satu jam mencari, aku menemukan sebuah buku tebal berjudul Teori dan Eksperimen Waktu. Sampulnya berdebu, dan beberapa halamannya tampak robek, tapi isinya terlihat menarik.
![](https://img.wattpad.com/cover/385317011-288-k182676.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Guardian
Science FictionAsep, seorang remaja anak guru Sejarah di Bandung, secara tidak sengaja menemukan mesin waktu di gudang sekolahnya. Saat mencoba menggunakannya, ia terlempar ke tahun 1995 dan terjebak di masa lalu. Sambil beradaptasi dengan kehidupan sekolah di mas...