Rahasia yang Terungkap

4 1 0
                                    

Malam itu aku tidur di gudang. Karena memang nggak punya pilihan lain, dan juga rasa penasaranku terhadap mesin waktu itu terlalu besar. Aku membawa Menyusun beberapa kardus bekas untuk aku jadikan alas dan mengambil tumpukan kertas bekas untuk aku jadikan bantal, menyelipkan tubuhku di sudut yang penuh barang-barang usang agar sedikit merasa aman jika sewaktu-waktu ada yang datang. Angin malam terasa dingin menusuk, tapi aku menutupinya dengan kain tipis yang sudah agak berbau debu yang aku temukan di Gudang itu. Di depanku, mesin itu berdiri seperti raksasa bisu, seolah sedang mengawasiku.

Mesin itu tidak bergerak, tidak bersuara. Seolah-olah, setelah membawaku ke tahun 1995, ia memutuskan untuk pensiun. Aku duduk bersila di lantai, memandangi tombol-tombol dan kabel yang menjulur di mana-mana. Aku mencoba mengingat setiap langkah yang kulakukan sebelumnya, menekan semua tombol yang ada pada mesin itu. Tapi semua itu sia-sia, mesin itu tidak bergeming sama sekali. Eh ternyata, colokannya tercabut. Setelah aku sambungkan colokannya dengan sumber listrik, akhirnya. Tidak terjadi apa-apa juga.

"Mesin bodoh," gumamku sambil menendang pelan salah satu kakinya. Tentu saja, tidak ada respons. Aku merebahkan tubuhku, memandang langit-langit gudang yang penuh sarang laba-laba.

"Gimana caranya balik ke tahun 2023?" pikirku. Kalau aku harus tinggal di tahun ini lebih lama, bagaimana nasibku? Aku nggak punya KTP, nggak punya keluarga, dan yang paling penting... aku nggak tahu apa-apa tentang hidup di era 90-an.

***

Esok paginya, aku terbangun dengan suara langkah kaki. Aku langsung duduk, mendengar suara itu semakin dekat. Siapa yang datang? Aku buru-buru bersembunyi di balik tumpukan barang.

Tapi saat pintu gudang terbuka, aku terkejut melihat siapa yang masuk.

"Siti?!"

Dia berdiri di depan pintu, memandangku dengan alis terangkat. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya tajam.

Aku berdiri perlahan, mencoba terlihat tidak mencurigakan. "Aku... lagi cari tempat tenang buat belajar," jawabku asal.

Dia menyipitkan mata, jelas tidak percaya dengan jawabanku. "Belajar di gudang? Pagi-pagi begini? Anak baru yang aneh banget," komentarnya.

Aku mengangkat bahu. "Kadang-kadang tempat seperti ini bisa bikin otak lebih fokus."

Siti melangkah masuk, memandang sekeliling gudang. Dia berhenti di depan mesin waktu itu, menyentuh salah satu kabelnya. "Ini apaan?" tanyanya.

Aku langsung panik. Bagaimana kalau dia tahu fungsi mesin itu? Aku buru-buru berdiri di antara dia dan mesin itu. "Ah, itu cuma barang rongsokan. Nggak ada yang menarik," kataku cepat.

Dia menatapku curiga, tapi tidak berkata apa-apa. Lalu, dengan nada yang lebih santai, dia berkata, "Kamu beneran aneh. Tapi aku suka orang aneh." Dan berlalu pergi meninggalkan ku sendiri di dalam gudang.

Aku tertawa kecil mendengar perkataannya. Ntah apa maksud dari perkataannya itu, apakah memuji ata menghina, tapi di hati kecilku aku merasa senang mendengar perkataan itu.

***
Setelah pertemuan itu, aku dan Siti mulai sering bertemu. Entah kenapa, dia tampak tertarik dengan keberadaanku. Mungkin karena aku terlihat berbeda, atau mungkin dia merasa ada sesuatu yang aku sembunyikan.

"Kenapa kamu suka banget nongkrong di gudang?" tanyanya suatu hari saat kami duduk di taman belakang sekolah.

"Aku suka tempat yang sepi. Rasanya lebih nyaman," jawabku.

Dia mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Aku juga suka tempat sepi. Kadang, orang-orang terlalu ribut. Tapi gak di Gudang juga." Diikuti ketawa kecil seakan mengejekku.

Time GuardianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang