Eksperimen Gila

1 0 0
                                        

Hari mulai gelap, tapi aku dan Siti belum berhenti. Gudang yang biasanya jadi tempat tenang sekarang berubah jadi bengkel darurat. Kabel, pipa, dan barang-barang bekas berserakan di lantai. Siti duduk bersila di sampingku, memegangi buku catatannya sambil mencoret-coret sesuatu.

"Kalau listrik statis butuh pemisah muatan, kita bisa pakai ini," katanya sambil menunjuk gulungan plastik yang aku temukan tadi.

Aku mengangguk. "Tapi kita butuh sesuatu yang bisa menghasilkan gesekan konstan. Mungkin... roda sepeda?"

Mata Siti berbinar. "Kita gabungkan saja roda sepeda dengan generator sederhana. Kalau berhasil, alat ini bisa menghasilkan listrik statis untuk mesin waktu."

Aku mulai bekerja, memasang roda sepeda bekas ke rangkaian alat yang kami rancang. Sesekali aku melirik Siti. Dia kelihatan serius sekali, tapi sesekali senyumnya muncul saat menemukan ide baru. Aku nggak pernah menyangka bahwa di balik sikap dinginnya, dia sebenarnya penuh semangat dan cerdas.

"Kalau ini berhasil, kamu harus traktir aku bakso dua mangkuk," katanya tiba-tiba sambil tertawa kecil.

Aku tertawa. "Aku traktir tiga mangkuk kalau kita bisa hidupin mesin ini."

"Deal!"

***
Setelah beberapa jam, alat penghasil listrik statis kami akhirnya selesai. Bentuknya nggak terlalu bagus—lebih mirip karya seni abstrak daripada alat canggih. Tapi kalau ini berhasil, siapa yang peduli bentuknya?

"Siap?" tanyaku sambil memegang alat itu.

Siti mengangguk. "Ayo kita coba."

Aku memasang kabel dari alat itu ke mesin waktu. Dengan hati-hati, aku memutar roda sepeda, menciptakan gesekan antara plastik dan logam. Alat itu mulai berdengung pelan, lalu semakin keras.

"Lihat, ada percikan listrik!" seru Siti sambil menunjuk kabel yang mulai berpendar.

Aku terus memutar roda, berharap energi yang dihasilkan cukup untuk menghidupkan mesin. Tiba-tiba, mesin waktu itu mengeluarkan suara dengungan yang dalam. Lampu-lampu kecil di panelnya mulai menyala satu per satu.

"Ini dia!" kataku penuh semangat.

Siti mendekat, matanya terpaku pada tombol merah yang mulai bersinar terang. "Kita berhasil?"

Belum sempat aku menjawab, mesin itu tiba-tiba bergetar. Angin kencang mulai berputar di dalam gudang, seperti yang aku alami saat pertama kali menekannya.

"Siti, minggir!" teriakku sambil menariknya menjauh dari mesin.

Tapi sebelum kami sempat bereaksi lebih jauh, mesin itu tiba-tiba mati. Semua lampu padam, dan gudang kembali sunyi.

"Apa yang terjadi?" tanya Siti dengan napas terengah.

Aku menggeleng. "Aku nggak tahu. Mungkin energinya belum cukup."


Setelah percobaan itu gagal, kami duduk berdua di lantai, kelelahan. Aku mengusap keringat di dahiku, sementara Siti membuka buku catatannya lagi.

"Asep, aku penasaran," katanya tiba-tiba.

Aku menoleh. "Penasaran apa?"

" Kalau semua ini berhasil, apa yang kamu rencanakan selanjutnya? Apa kamu akan langsung pergi begitu saja?"

Pertanyaannya membuatku terdiam. Aku nggak pernah memikirkan itu sebelumnya. Selama ini, fokusku hanya pada satu hal: kembali ke tahun 2023. Tapi sekarang, dengan Siti di sisiku, aku mulai merasa ragu.

"Aku nggak tahu," jawabku jujur. "Tapi aku harus kembali. Di masa depan, ada keluarga, teman-teman, dan kehidupanku yang menunggu."

Siti mengangguk pelan. "Aku mengerti. Tapi... kalau kamu pergi, apa kamu akan ingat aku?"

Aku tersenyum kecil. "Tentu saja aku akan ingat kamu, Siti. Kamu satu-satunya orang yang membantu aku di sini."

Dia tersenyum tipis, lalu kembali fokus pada buku catatannya. Tapi aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Ngomong-ngomong, kamu sendiri kenapa mau bantu aku?" tanyaku akhirnya.

Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Karena aku tahu bagaimana rasanya merasa tersesat."

Aku menatapnya, mencoba memahami maksudnya. "Tersesat?"

Dia mengangguk. "Hidupku mungkin terlihat normal, tapi sebenarnya aku sering merasa seperti... nggak punya tempat. Aku selalu sendirian, nggak ada yang benar-benar peduli. Jadi ketika kamu muncul, aku merasa seperti akhirnya punya seseorang yang bisa diajak berbagi."

Kata-katanya membuatku terdiam. Aku nggak pernah menyangka Siti yang terlihat kuat dan percaya diri sebenarnya merasa seperti itu.

"Siti," kataku pelan. "Kamu nggak sendirian. Aku di sini."

Dia tersenyum, kali ini lebih hangat. "Terima kasih, Asep."

***
Setelah istirahat sebentar, kami memutuskan untuk mencoba pendekatan lain. Buku-buku dari perpustakaan menyebutkan bahwa beberapa mesin waktu menggunakan medan elektromagnetik sebagai sumber energinya.

"Kita butuh magnet besar," kata Siti sambil membolak-balik buku. "Tapi di mana kita bisa menemukannya?"

Aku mencoba mengingat semua barang yang ada di gudang. "Mungkin ada di ruangan lain. Aku pernah lihat speaker rusak di ruang penyimpanan sebelah, mungkin kita bisa ambil magnetnya."

Kami segera pergi ke ruang penyimpanan itu, yang terletak tidak jauh dari gudang. Ruangan itu penuh dengan alat-alat tua yang sudah berkarat. Aku pun langsung membongkar sebuah speaker untuk mengambil magnetnya.

"Ini dia!" seruku.

Kami membawa magnet itu kembali ke gudang, lalu mulai menghubungkannya ke mesin waktu. Aku merasa seperti ilmuwan gila yang sedang melakukan eksperimen berbahaya, tapi rasa penasaranku terlalu besar untuk peduli.

"Siap untuk percobaan kedua?" tanyaku.

Siti mengangguk. "Semoga kali ini berhasil."

Aku menyalakan alat itu, dan mesin waktu kembali hidup. Lampu-lampu menyala, dan tombol merahnya mulai bersinar terang. Tapi kali ini, mesinnya tampak lebih stabil. Tidak ada angin kencang atau suara bising.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Siti.

Aku menatap tombol merah itu, ragu-ragu. "Mungkin... kita harus mencobanya lagi."

Siti menatapku, lalu mengangguk. "Kalau kamu yakin, aku akan mendukungmu."

Aku menghela napas panjang, lalu mendekatkan jariku ke tombol itu. Tapi sebelum aku sempat menekannya, suara dari luar gudang membuat kami berdua terkejut.

"Siapa di sana?!"

Chapter 6: Kedatangan Tak Terduga

Suara itu membuat jantungku hampir melompat keluar. Aku dan Siti saling berpandangan, wajah kami penuh dengan kecemasan. Suara berat dari luar terdengar lagi, lebih mendekat. "Hei! Saya tahu kalian ada di dalam! Cepat keluar!"

Siti segera menarik tanganku, membisikkan, "Asep, kita harus sembunyi!"

Aku melihat sekeliling gudang, tapi tidak banyak tempat untuk bersembunyi. Di sudut ruangan, ada tumpukan kotak kayu yang cukup besar untuk menyembunyikan kami berdua. Tanpa berpikir panjang, aku dan Siti melompat ke balik tumpukan itu, berusaha menahan napas sepelan mungkin.

Pintu gudang terbuka perlahan, mengeluarkan suara berdecit yang membuat suasana semakin tegang. Aku mencoba mengintip dari celah kecil di antara kotak-kotak itu. Seorang pria tua, mungkin berusia 50-an, masuk ke dalam. Tubuhnya kurus, dengan kumis tipis yang melengkung seperti antena. Matanya tajam, seperti sedang mencari sesuatu.

"Siapa yang berani masuk ke sini tanpa izin?" gumamnya sambil melangkah lebih dalam.

Aku merasa Siti menggenggam lenganku erat. Aku tahu dia sama gugupnya denganku. Pria itu berjalan mendekati mesin waktu, mengamatinya dengan cermat. Wajahnya berubah serius, seolah dia mengenali benda itu.

"Tidak mungkin... ini masih ada?" bisiknya.

Aku menahan napas. Pria ini tahu tentang mesin waktu! Siapa dia sebenarnya?

Time GuardianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang