Soeraandaru; 14 (W)

697 56 10
                                    

Tidak terasa tiba-tiba sudah 2 minggu berlalu dari awal dirinya kenal keluarga Kedhaton dan sekarang terlibat dalam persiapan pernikahan temannya ini. Persiapannya  benar-benar seribet dan melelahkan walaupun bagian dia sebenarnya hanya menemani Serena dan mengikuti segela rangkaian perawatan yang sedang dijalani temannya itu.

“Ini nanti akan kamu rasakan juga kalau kamu setuju menikah dengan mas Nata, Win.” Serena ngomong ke Windia karena temannya ini terheran-heran dengan persiapan yang tengah dia jalani.

“Aku penasaran calon pengantin pria serepot ini juga tidak?” Tunjuk Windia ke luluran yang akan Serena gunakan. 

“Entahlah, mas Wasesa sudah tampan.”

“Kamu juga sudah cantik. Tapi maksudku bukan karena sudah tampan dan cantik, ibarat kata nih ya, perempuan seperti hidangan yang harus ditata secantik mungkin biar menarik dan yang akan menikmati hidangan itu senang dan puas. Ngerti tidak kamu maksudnya?”

“Dipikir-pikir iya juga.”

“Kan!” Semangat Windia kalau Serena sudah nyambung begini. “Padahal kita perempuan mau lihat pasangan menarik juga dimata kita, tapi tidak serepot ini juga.”

“Tapi lihat dulu dari pekerjaan sehari-hari si laki-laki, kalau bukan perkerja kasar ya tubuh tetap terawat. Ini bisa saja memang kesukaan kita para perempuan yang suka merawat diri, dan ya ada campur tangan dengan tradisi. Tidak apa-apa, kalau cantik juga kita sendiri yang senang.”

“Benar, aku suka cantik. Mending kamu mulai luluran, dingin lama-lama di kamar mandi.”

“Ya sudah ayo bantu. Nanti kamu menikah dengan senang hati juga aku membantu.”

“Aku masih bingung bahasan soal menikah. Mau sih, tapi ini terlalu cepat menurutku, sifat mas Nata saja aku tidak tahu.”

Serena menoleh melihat wajah cemberut Windia walau begitu Windia tetap telaten meluluri punggungnya. “Win, sadar tidak kamu? Aku pun tidak begitu mengenal mas Wasesa. Tapi ini memang kesalahanku, sebenarnya aku memang tidak punya hak untuk menolak, sedangkan kamu bisa.”

“Dewasa tidak enak ternyata.”

Serena langsung berbalik kemudian menarik lengan kanan Windia, tanpa aba-aba dia mengambil luluran itu dan mulai meluluri lengan Windia. Yang punya badan langsung panik, apa-apaan coba ini?

“Bagaimana kalau semisal ini ada baca-bacaannya juga, Serena?! Aku tidak mau terlibat.” Windia narik lengannya tapi Serena tidak membiarkan Windia lepas.

“Tidak mungkin, Win. Masa luluran saja ada sesuatunya.”

“Luluran biasa kamu bisa tinggal beli jadi, untuk apa susah-susah buat. Jangan sepelekan yang ada di sini, padahal kamu sudah mengalami, masih tidak percaya.”

“Anggap saja kamu persiapan untuk menikah juga.” Balas Serena santai.

“Sembarangan! Sudah, kamu lho yang harus di lulur, biar nanti tinggal pijat. Lepas saja jarik kamu ini, menganggu.”

“Dingin kalau telanjang!” Serena segera menghindar dari jangkauan Windia. Jangan terkejut, mereka berdua ini beberapa kali terpaksa mandi berdua karena kepepet, jadi rasa malu sepertinya sudah sungkan singgah diantara keduanya.

“Duh Cah Ayu kelakuane.”

Serena dan Windia yang saring serang dengan luluran itu terkejut ada suara lain menggema di dalam kamar mandi. Sadar dengan rupa mereka berdua yang sudah kuning semua, jadi tersenyum canggung melihat ibunya mas Wasesa diambang pintu kamar mandi yang terbuka.

“Mbak Windia setuju dengan perjodohan ini?”

Windia kaget ditanyai seperti itu, orang dia banyak pikiran karena itu, eh malah ditanyai sama keluarga yang bersangkutan. “Masih saya pertimbangkan, Bu.” Jawab Windia sesopan mungkin.

(Wonwoo) Kedhaton Hadiningrat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang