Siang sebelum hari pernikahan, keluargaku pindah dari Mandarin Oriental menuju ke rumah besar keluarga Vitiello di Hamptons. Bangunan megah itu terinspirasi dari istana Italia, dikelilingi hampir tiga hektar taman hijau seperti sebuah taman luas. Jalan masuknya panjang dan berkelok, melewati empat garasi ganda dan dua rumah tamu, sebelum berakhir di depan rumah besar dengan dinding putih dan atap merah berbahan genteng. Patung-patung marmer putih berdiri di dasar tangga ganda yang mengarah ke pintu depan.
Saat masuk, aku terkesima dengan plafon berornamen, kolom-kolom marmer putih, lantai berkilauan, dan pemandangan teluk serta kolam panjang yang terlihat dari jendela panorama. Ayah dan ibu tiri Luca mengantar kami ke lantai dua di sayap kiri, tempat kamar-kamar kami berada.
Gianna dan aku bersikeras untuk berbagi kamar. Aku tidak peduli jika itu membuat kami terlihat kekanak-kanakan. Aku hanya butuh dia di sisiku. Dari jendela kamar, kami bisa melihat para pekerja mulai mendirikan paviliun besar yang akan digunakan sebagai gereja esok hari. Di kejauhan, laut tampak bergelombang. Luca baru akan tiba keesokan harinya, jadi kami tidak mungkin bertemu secara tidak sengaja sebelum pernikahan, yang katanya akan membawa kesialan. Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana aku bisa lebih sial dari yang sudah kurasakan sekarang.
***
"Hari ini adalah harinya!" kata Ibu dengan nada ceria yang terdengar palsu.
Aku menyeret tubuhku keluar dari tempat tidur. Gianna menarik selimut hingga menutupi kepalanya sambil menggumamkan sesuatu tentang ini terlalu pagi.
Ibu menghela napas panjang. "Aku tidak percaya kalian berbagi kamar seperti anak lima tahun."
"Harus ada yang memastikan Luca tidak menyelinap masuk," kata Gianna dari balik selimut.
"Umberto sudah berjaga di koridor."
"Seolah dia akan melindungi Aria dari Luca," gumam Gianna sambil akhirnya duduk. Rambut merahnya berantakan.
Ibu mengerutkan bibir. "Saudaramu tidak perlu dilindungi dari suaminya."
Gianna mendengus, tapi Ibu mengabaikannya dan mendorongku ke kamar mandi. "Kita harus mempersiapkanmu. Perias akan tiba kapan saja. Cepat mandi."
Saat air hangat mengalir membasahi tubuhku, kenyataan pun menghantamku. Ini dia, hari yang sudah lama kutakuti. Malam ini, aku akan menjadi Aria Vitiello, istri dari calon Capo dei Capi, dan bukan lagi seorang perawan. Aku bersandar pada dinding kamar mandi. Aku berharap bisa seperti pengantin lain yang menikmati hari pernikahan mereka. Aku berharap tidak perlu menghadapi malam pernikahan dengan ketakutan. Tapi aku sudah belajar sejak lama bahwa harapan tidak akan mengubah apa pun.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, tubuhku terasa dingin. Bahkan jubah mandi berbulu lembut pun tidak bisa menghentikan tubuhku menggigil. Seseorang mengetuk pintu, dan Gianna masuk dengan membawa secangkir kopi dan semangkuk salad buah.
"Kopi dan salad buah. Katanya kamu tidak boleh makan pancake karena bisa membuat perutmu kembung. Omong kosong," katanya.
Aku mengambil kopi itu tapi menggelengkan kepala melihat makanannya. "Aku tidak lapar."
"Kamu tidak bisa tidak makan seharian atau kamu akan pingsan saat berjalan menuju altar." Dia berhenti sejenak. "Tapi, di sisi lain, aku ingin melihat wajah Luca kalau itu terjadi."
Aku menyesap kopi itu, lalu mengambil mangkuk dari tangan Gianna dan memakan beberapa potong pisang. Aku benar-benar tidak ingin pingsan. Ayah pasti akan marah besar, dan Luca mungkin juga tidak akan senang.
"Perias sudah datang dengan rombongannya. Seolah-olah mereka harus mempercantik sepasukan wanita pasar," katanya sinis.
Aku tersenyum lemah. "Ayo, jangan buat mereka menunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by Honor (Born in Blood Mafia Chronicles #1) Bahasa Indonesia
Roman d'amourSebuah dongeng modern dunia mafia. Terlahir dalam salah satu keluarga mafia terkuat di Chicago, Aria Scuderi dikenal sebagai tuan putri mafia dengan kecantikannya yang memukau. Namun, apa yang dianggap banyak orang sebagai anugerah justru menjadi...