Extra Part: The Forever We Always Dreamt About

3K 434 11
                                    

SSSSSURPRISEEEEEE!!!!

Ini akan jadi extra part terakhir ya huhuuu.

Cerita dalam ekstra part ini sekaligus kasih spoiler dari plot yang bakal aku tampilin kalau cerita ini naik cetak ^.^

*Disclaimer: part ini nggak panjang dan agak cepat alurnya/pergantian latarnya, jadiii usahain nggak ngeskip yaw!!

HAPPY READING ALLLL ((( DAN BACA ANNOUNCEMENT AKU DI CHAPTER SETELAH INI YA )))

***

Bandung hari ini ramai. Tapi bukankah memang selalu ramai? Jalanan dari stasiun Kiaracondong menuju Margaasih penuh sesak. Mobil berdesakan dengan sepeda motor, berlomba siapa yang akan sampai lebih dulu di tujuannya masing-masing.

"Maaf ya, Pak, Bu. Ini lagi jam-jam kritis jadi macetnya nggak ketolongan."

Pengemudi GoCar berkali-kali meminta maaf atas sesuatu yang bukan salahnya.

"Nggak apa-apa, Pak. Namanya juga jam pulang kerja, emang selalu ramai di mana-mana."

Rakan bisa menemani perbincangan pria paruh baya yang diketahui bernama Pak Iwan itu. Hampir satu jam mereka larut dalam pembicaraan ringan di tengah hiruk pikuk jalanan sempit. Tentang riuhnya Bandung dan Jakarta, tentang complain customer pada hal-hal sepele yang merugikan driver, hingga pada mahalnya biaya kebutuhan saat ini.

"Adiknya udah masuk sekolah ini?"

Ichi yang tertidur di pangkuan Rakan hanya menggeliat bersamaan dengan getaran mobil yang melewati polisi tidur beberapa kali.

"Anak-anak baru masuk TK, Pak."

Sejak awal bertemu di titik jemput, Pak Iwan kelihatan senang dengan keceriaan Davka dan Ichi. Tapi sayang, tidak butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk keduanya terlelap. Di kursi belakang, Nara memeluk Davka yang memejamkan mata sambil duduk menyandar ke tubuhnya. Sesekali dia akan menepuk atau mengusap punggungnya kalau suara klakson membuat anak laki-lakinya itu kaget.

"Yang kakak yang mana, Pak?"

Rakan dengan sama antusiasnya menceritakan bagaimana kedua anak kembarnya tumbuh bersama. Sedikit membuat Pak Iwan terkejut karena menurutnya, Davka dan Ichi tidak ada mirip-miripnya sama sekali.

"Kembar tapi nggak identik, Pak."

Percakapan itu bersambung panjang. Sementara Nara yang masih merasakan mual pasca perjalanan panjang hanya mampu menyimak sambil sesekali melempar tawa saat beberapa candaan ia dengar.

"Ini di Jalan Jati Asih ya?"

Mobil berhenti tepat di rumah yang terakhir kali mereka kunjungi tahun lalu. Rumah yang kelihatan begitu menyambut kedatangannya dengan lampu terang dan pintu yang terbuka lebar.

"Halooo, duh pada tidur semua cucu Oma?"

Bunda Nara menyambut riang dari pintu utama, sekaligus mengambil alih Davka dari gendongan Nara.

"Tadi tidur sebelum turun dari kereta, jadi disambung lagi waktu naik GoCar."

Mereka meletakkan barang-barang kemudian membersihkan diri sebelum berbaur dengan Bunda di ruang makan. Kali ini ada Bu Titik dan Pak Kasim, orang kepercayaan Bunda Nara, yang juga hadir untuk sama-sama berbagi kebahagiaan.

"Kamu capek? Perutnya nggak apa-apa dibawa perjalanan agak jauh gini?"

Nara sempat merasakan perutnya keram ketika baru sampai. Kini tidak lagi, perut itu sudah menerima sentuhan dan beberapa usapan lembut dari Rakan yang bisa menenangkan makhluk kecil yang menendang dari dalam.

3600 Seconds from Merapi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang