.
.
.
.
.Pagi itu, Hyunsik baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja ketika telepon dari Marcel, pengawal setianya, datang dengan kabar yang mengguncang. Suaranya terdengar lemah dan serak, jauh dari sosok tangguh yang biasanya Hyunsik kenal.
“Tuan... saya masih hidup...,” ucap Marcel terputus-putus. “Ledakan... saya berhasil keluar... tapi terluka parah. Ambulans... tolong...”
Hyunsik terdiam beberapa saat, memproses kata-kata tersebut. Marcel selamat dari ledakan mobil yang menghancurkan, tetapi kondisinya kritis. Sebelum panggilan terputus, Marcel sempat mengungkapkan lokasi kejadian.
Dalam sekejap, Hyunsik menghubungi dokter pribadinya, mengatur kendaraan darurat, dan memerintahkan timnya untuk bersiap-siap. Wajahnya yang biasanya tenang kini berubah muram, dipenuhi kecemasan. “Bawa dua ambulans. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Jay dan Sunghoon,” perintahnya dengan suara dingin namun tegas.
Di dalam hatinya, Hyunsik dihantui ketakutan. Dua putranya, Jay dan Sunghoon, adalah hartanya yang paling berharga. Pikiran tentang kemungkinan kehilangan mereka terus menggerogoti ketenangannya. Namun, ia menolak menunjukkan kelemahannya di depan orang-orangnya.
“Cari tahu siapa pelakunya,” ucapnya pada tangan kanan kepercayaannya, matanya memancarkan amarah. “Aku ingin semua nama yang terlibat. Tidak peduli apa yang harus kalian lakukan.”
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di lokasi kecelakaan—sebuah area berbukit dengan jurang curam. Puing-puing mobil tampak berserakan di dasar jurang, memberikan gambaran mengerikan tentang kerasnya benturan yang terjadi. Hyunsik turun dari mobilnya, memimpin langsung pencarian.
“Turun ke bawah,” perintahnya pada beberapa bawahan yang sudah dilengkapi peralatan penyelamat. “Temukan anak-anak saya.”
Pencarian terasa seperti selamanya, meski kenyataannya hanya beberapa menit berlalu. Tiba-tiba, suara dari bawah jurang memecah kesunyian.
“Tuan! Di sini! Kami menemukan mereka!”
Hyunsik langsung turun. Ia tidak peduli pada batu tajam atau tanah yang licin. Ia harus melihat putra-putranya dengan matanya sendiri.
Ketika ia sampai di dasar jurang, pemandangan di depannya membuat lututnya hampir lemas. Jay dan Sunghoon tergeletak bersandar satu sama lain, tubuh mereka penuh luka dan darah. Wajah Jay terlihat membiru, sementara kaki kirinya membengkak akibat gigitan ular berbisa. Sunghoon lebih parah; darah segar masih mengalir dari hidungnya, wajahnya begitu pucat seperti kehilangan semua nyawanya.
“Ya Tuhan... Jay... Sunghoon...” suara Hyunsik bergetar, matanya mulai memanas. Ia berlutut di depan mereka, menyentuh wajah dingin kedua putranya dengan tangan gemetar.
“Sunghoon, Nak, buka matamu... Ayah di sini,” bisiknya, tapi tak ada respons.
“Cepat bawa tandu! Jangan buang waktu!” serunya pada bawahannya dengan suara penuh tekanan.
Jay diangkat lebih dulu ke tandu, dan ambulans pertama segera pergi, meninggalkan Hyunsik bersama Sunghoon. Ia menggenggam tangan bungsunya, menghapus darah yang mengalir dari hidungnya dengan sapu tangan.
“Sunghoon, dengar Ayah... Kamu kuat, Nak. Bertahanlah... Demi Ayah,” katanya, tapi tangisnya mulai pecah. Ini pertama kalinya ia merasa begitu rapuh.
Setelah Sunghoon dibaringkan di tandu, Hyunsik naik ke ambulans kedua. Di dalam ambulans, ia tak henti-hentinya menggenggam tangan putranya, berharap bisa mentransfer kekuatannya kepada Sunghoon yang tampak begitu lemah.
“Kamu harus bertahan, Sunghoon. Kamu harus hidup...” gumamnya dengan suara penuh harap.
Ambulans melaju kencang menuju rumah sakit. Begitu mereka tiba, Jay langsung dibawa ke ruang operasi. Racun dari gigitan ular telah menyebar, dan dokter harus segera menanganinya. Sementara itu, Sunghoon dibawa ke ruang gawat darurat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIBLINGS IN THE DARK UNDERWORLD [ JAYHOON ]
FanfictionJaya tidak pernah melupakan bagaimana menderita nya ibu setelah mengetahui penghianat ayah. Ayah dan wanita itu adalah penyebab kepergian ibu nya. Sampai saat ini, Jay masih menyimpan dendam teramat besar terhadap Ayah dan juga wanita itu. Jay tid...