Setelah berbicara dengan Pak Ito, aku menemukan Nona May sudah bangun, berdiri di ruang tamu sambil memandang keluar jendela. Dia tampak seperti sedang menunggu seseorang. Beberapa saat kemudian, dia berjalan ke pintu untuk membukanya. Di depan pintu berdiri seorang wanita berambut pirang, berpakaian hitam, membawa sebuah koper besar. Saat pintu terbuka, mereka berpelukan erat, saling menyapa seperti sahabat lama yang telah lama terpisah.
"Illinaya, apakah itu benar-benar terjadi?" tanya Nona May dengan nada pelan. Ada kesedihan di wajahnya, seperti dia baru saja mendengar kabar buruk. Dia tampaknya tidak menyadari bahwa aku berdiri di belakangnya, mengamati semuanya.
"Maafkan aku, May," jawab wanita itu dengan lembut. "Aku baru saja kembali dari pemakamannya." Wajah Nona May sejenak berubah, tetapi dia segera berbalik, mengajak wanita itu masuk ke ruang tamu. Saat itulah dia menyadari kehadiranku.
"Oh, Lucas," katanya dengan suara yang mencoba terdengar biasa saja. "Rupanya kau sudah di sini sejak tadi. Kenalkan, ini sahabatku, Illinaya Anderson. Dia akan tinggal bersama kita selama musim gugur. Aku mengundangnya untuk berlibur di sini."
Aku mengangguk dan melangkah maju untuk menjabat tangan wanita itu. Untuk pertama kalinya, Nona May mengenalkanku kepada seseorang dari masa lalunya.
"Salam kenal," kataku, berusaha terdengar sopan. "Saya Lucas. Selamat datang, Nona Illinaya."
Illinaya tersenyum kecil, seolah sudah tahu siapa aku. Dia menyambut jabat tanganku dengan santai, lalu tertawa ringan. "Ah, jadi kau anak itu?" katanya, melirik ke arah Nona May dengan nada menggoda, seolah dia memikirkan sesuatu.
"Aku Illinaya. Tapi tolong, jangan terlalu formal! Tidak perlu memanggilku Nona. Aku bukan orang seperti May, yang diam-diam senang dipanggil begitu."
Aku tertegun sesaat, tidak yakin bagaimana harus merespons. Nona May, yang biasanya menjaga wibawanya, terlihat pasrah dengan candaan itu. "Berhentilah, Illinaya," katanya, mencoba terdengar kesal, tetapi aku bisa melihat dia menahan senyum.
"Baik, baik," balas Illinaya, mengangkat tangannya seperti menyerah.
Aku mencoba mengikuti nada yang lebih santai, berkata, "Baiklah, kalau begitu... Illinaya."
Tetapi mendengar itu, Nona May tampak terkejut. Dia memandangku dengan ekspresi yang sulit diartikan—seolah melihat sekilas diriku yang dulu. Dia tersenyum tipis, tetapi di balik senyuman itu, ada kesedihan yang tak bisa kusembunyikan dari tatapan matanya.
Mereka pun mulai berbincang, tenggelam dalam percakapan yang tampaknya hanya dimengerti oleh mereka berdua. Seperti tahu bahwa aku tidak memiliki tempat di antara mereka, aku memutuskan untuk menjauh dari ruang tamu, mencoba mengalihkan perhatianku dengan urusanku sendiri.
. . .
Saat berjalan menuju kamarku, aku bertemu dengan Bu Ella di lorong. Dia tersenyum melihatku, seperti sudah menduga bahwa kali ini aku akan memiliki waktu luang tanpa ditemani oleh Nona May.
"Ah, Nona Illinaya akhirnya datang lagi," katanya sambil melirik ke arah ruang tamu, di mana Nona May dan Illinaya masih berbincang.
Aku menoleh ke arahnya, rasa ingin tahuku terbangkit. Rupanya Bu Ella sudah mengenal Illinaya.
"Iya, jadi mereka memang sahabat lama?" kataku, mencoba memastikannya lagi.
"Ya, bisa dibilang begitu," jawabnya dengan nada penuh kehangatan. "Nona May dan Nona Illinaya dulunya adalah pemain biola terkenal. Mereka sering tampil bersama sebelum akhirnya Nona May memutuskan untuk berhenti dan mengejar mimpinya menjadi desainer. Apa kau tahu? Mansion ini dulunya milik Nona Illinaya, tapi dia semacam menjualnya kepada Nona May beberapa tahun lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Footsteps of Time: May the Flower Bloom
ParanormalMay tinggal di sebuah mansion tua yang sunyi dan jauh dari kehidupan yang pernah dia kenal. Terkutuk oleh mendiang ibunya, dia hanya bisa menemukan kebahagiaan melalui pernikahan-takdir yang dia tolak mentah-mentah. Namun, kutukan keduanya jauh lebi...